TAN MALAKA adalah nama yang nyaris tak disebut dalam buku sejarah resmi negara. Padahal, ia adalah salah satu pejuang kemerdekaan paling radikal, orisinal, dan terdepan yang dimiliki Indonesia. Namun, justru karena pemikirannya yang melampaui zaman dan sikap politiknya yang tak tunduk pada penguasa manapun, ia dibenci oleh bangsanya sendiri. Bukan hanya dibungkam semasa hidup, tetapi juga “dihilangkan” dari ingatan kolektif bangsa setelah kematiannya.
Tan Malaka bukan tokoh pinggiran. Ia adalah pemikir besar yang menulis Madilog, merumuskan filsafat materialisme, dialektika, dan logika dalam konteks Indonesia. Ia mendirikan Partai Republik Indonesia pada 1945, bahkan dianggap sebagai presiden pertama yang mengusulkan bentuk negara republik, jauh sebelum nama-nama besar lain memikirkannya. Namun, sejarah nasional yang dibentuk oleh rezim-rezim penguasa sejak awal kemerdekaan hingga Orde Baru justru menempatkan Tan sebagai ancaman.
Upaya penghilangan Tan Malaka tidak dilakukan secara terang-terangan, melainkan lewat mekanisme sistematis: menghapus namanya dari buku pelajaran, mengecilkan perannya dalam proklamasi dan perjuangan kemerdekaan, serta menutupi kematiannya secara misterius. Ia dieksekusi oleh tentara republik sendiri pada 1949, di saat perjuangan kemerdekaan belum usai. Tak ada pengadilan. Tak ada pertanggungjawaban. Bahkan makamnya pun baru ditemukan puluhan tahun kemudian, tanpa penghormatan negara yang layak.
Mengapa sosok sebesar Tan Malaka justru dikubur dalam keheningan? Karena ia terlalu merdeka untuk dijinakkan. Ia tak tunduk pada Soekarno, bersikap kritis terhadap Partai Komunis Indonesia, menolak dominasi Belanda, Inggris, Jepang, dan Amerika, serta percaya bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa dicapai lewat pembebasan rakyat dari kapitalisme dan feodalisme. Pemikirannya terlalu berbahaya bagi penguasa yang ingin membentuk narasi tunggal tentang bangsa ini.
Hari ini, kita mewarisi sejarah yang cacat. Generasi muda mengenal para pahlawan yang aman secara politis, tetapi tidak pernah diberi kesempatan untuk membaca Tan Malaka secara utuh. Di ruang-ruang publik, namanya tak disebut. Di sekolah, hanya disebut sepintas lalu. Padahal, warisan intelektual dan keberaniannya layak disandingkan dengan tokoh-tokoh besar dunia.
“Menghilangkan” Tan Malaka dari sejarah Indonesia adalah bagian dari pembunuhan karakter intelektual terbesar dalam sejarah negeri ini. Ia tidak hanya ditembak mati, tetapi juga dibunuh berkali-kali lewat kebisuan dan penghapusan.
Kini saatnya membuka kembali lembar-lembar yang disembunyikan. Saatnya bangsa ini berdamai dengan kebenaran sejarah. Tan Malaka tidak sempurna, tapi ia tulus dan radikal demi rakyat. Dan karena itu, sejarah tidak bisa terus memadamkan cahayanya. (Editor)