![]()
Oleh Ruben Benyamin Gwijangge
Putra asli Nduga; Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Uncen, Jayapura
PADA 31 Oktober 2025, genap 62 tahun kabar Injil pertama kali masuk dan menjumpai orang Nduga melalui karya beberapa pelayan pribumi yang dipimpin Adriaan van der Bijl. Richard Reichert dalam biografi, Last Cucumber on the Vine (2017) menulis, kisah ini bukan sekadar tentang kedatangan seorang misionaris, tetapi tentang perjumpaan dua dunia, Firman dan kebudayaan, langit dan bumi, kasih dan luka manusia.
Sejak hari itu, kehidupan orang Nduga mulai melihat cahaya keselamatan dan Injil Adalah kekuatan Allah dari balik gunung Mburuberam. Injil membawa cahaya baru dalam cara berpikir, berelasi, dan membangun kehidupan bersama. Sekolah-sekolah dan klinik-klinik kecil yang didirikan para pekabar Injil menjadi titik awal lahirnya kesadaran baru tentang harga kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.
Namun kini, 62 tahun sejak perjumpaan pertama itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah Injil yang dulu membebaskan itu masih hidup di tengah masyarakat Nduga saat ini? Apakah Misi Injil itu kini hanya menjadi bagian dari sejarah dan seremonial tahunan gerejawi?
Kedatangan Injil di Ndugama bukan sekadar peristiwa religius, melainkan peristiwa peradaban bangsa. Firman Tuhan menembus lembah dan pegunungan, mengakhiri perang suku dan membuka jalan bagi pendidikan serta perdamaian. Gereja menjadi pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan moral.
Tetapi pada Abad ke-21, pewartaan Injil tampaknya kehilangan napas peradabannya. Gereja yang dulu membangun sekolah kini sibuk dengan pembangunan fisik dan kompetisi denominasi. Pemerintah yang dulu dianggap sebagai buah dari Injil dan diharapkan terinspirasi oleh semangat pelayanan Injil, kini sibuk dengan administrasi tanpa empati. Roh pelayanan berubah menjadi rutinitas, dan visi Injil tergantikan oleh birokrasi serta kepentingan politik.
Ketika Kabupaten Nduga dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2008, banyak orang Nduga yang melihatnya sebagai “buah Injil”. Kelanjutan dari karya misi untuk memerdekakan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Tetapi dua dekade berlalu, indeks pembangunan manusia tetap rendah, ketimpangan sosial meningkat, dan konflik sosial meluas tanpa henti. Ini menandakan adanya krisis teologis dan moral di tengah masyarakat yang telah “menerima Injil”.
Ketika Terang Mulai Meredup
Sebagian besar gereja masih memahami misi sebagai menyelamatkan jiwa (soul winning mission) tanpa memperhatikan transformasi sosial. Injil direduksi menjadi ritual, bukan gerakan sosial.
Padahal, Yesus datang bukan hanya untuk “memenangkan orang ke sorga”, tetapi untuk memulihkan martabat manusia serta seluruh sistem sosial di bumi. Injil sejati tidak hanya mengubah nasib setelah mati, tetapi cara hidup sebelum mati untuk mewujudkan penggalan harapan Yesus dalam Doa Bapa Kami, “…jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di Surga….”.
Saatnya gereja berhenti menghitung jumlah orang yang dibaptis dan mulai mengukur kedalaman perubahan karakter, integritas, dan etos kerja jemaat. Pendidikan teologis pun perlu dikontekstualisasikan agar melahirkan pemimpin rohani yang mampu membaca realitas sosial. Bukan sekadar mengutip ayat tetapi menghidupi pesan kasih di tengah kemiskinan dan konflik.
Pemerintah lokal yang telah lahir dari rahim Injil, tetapi kini tampak kehilangan rohnya. Dalam pelayanan publik, nilai kasih dan keadilan telah tergantikan oleh logika kekuasaan dan proyek. Indikator pembangunan yang stagnan memperlihatkan bahwa “pemerintah” belum menjadi “pelayan.”
Para pemimpin lokal perlu menyadari bahwa pemerintahan adalah panggilan spiritual, bentuk nyata dari kasih Kristus dalam kebijakan publik. Membuka sekolah, memperbaiki puskesmas, dan memastikan akses dan ketersediaan pangan bukan hanya tugas administratif, tetapi pelayanan kasih kepada Kristus yang hadir dalam diri rakyat kecil.
Kehilangan Daya Moral dan Sosial
Konflik sosial dan politik yang berulang di Nduga menunjukkan retaknya tatanan moral dan kekerabatan Injili. Konflik tahun 2013 antara pemerintah dan DPRD soal DPT Pemilu 2014 menjadi luka kolektif, diperparah oleh konflik bersenjata yang pecah sejak 2018.
Ribuan orang Nduga dipaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan menjadi pengungsi ke Keneyam, Timika, Wamena, dan Jayapura. Tragisnya, luka itu justru membungkam gereja dan masyarakat sipil yang dahulu menjadi benteng moral.
Masyarakat Nduga saat ini menghadapi krisis spiritual yang tak kalah berbahaya dari konflik politik, krisis kejujuran, krisis kerja keras, dan krisis kasih. Orang lebih mudah percaya dan berharap pada bantuan tunai daripada kerja tangan sendiri; lebih takut kehilangan posisi daripada kehilangan nurani.
Reformasi rohani dan sosial di Nduga tidak akan datang dari luar. Ia harus dimulai dari re-injilisasi diri sendiri, pembaruan hati, pikiran, dan sistem kehidupan berdasarkan nilai Injil yang membebaskan.
Gereja perlu kembali menjadi “sekolah kehidupan”, tempat iman bertemu realitas. Pelayanan di Nduga perlu berorientasi pada pemberdayaan: mendidik jemaat mengelola tanah, ekonomi keluarga, dan teknologi pertanian.
Pendeta dan guru Injil harus tampil sebagai pendidik sosial, bukan hanya pengkhotbah. Gereja juga harus menjadi advokat moral dalam isu kemanusiaan dan pengungsi Nduga, menegaskan bahwa iman tanpa keadilan adalah iman yang lumpuh.
Setiap pejabat publik harus melihat jabatannya sebagai amanah ilahi. Reformasi birokrasi di Nduga harus dimulai dengan rekonstruksi nilai: dari pola “menerima” menjadi “melayani”. Dibutuhkan pelatihan etika pelayanan berbasis nilai Injil bagi aparatur sipil, agar kebijakan publik berakar pada kasih, kejujuran, dan tanggung jawab moral dan iman.
Nilai-nilai luhur orang Nduga, gotong royong, Berdikari, etos kerja yang tinggi, malu berbuat dosa, dan hormat pada sesama adalah “benih Injil” dalam kebudayaan lokal. Tokoh adat dan masyarakat harus menjadi jembatan antara iman dan budaya, menghidupkan kembali tatanan sosial yang memuliakan kehidupan.
Generasi Injil Baru
Generasi muda dan perempuan Nduga perlu tampil sebagai pembaru sosial, bukan penerus penderitaan. Mereka harus dididik dengan semangat faith and reason (iman dan nalar) agar mampu menciptakan inovasi sosial berbasis kasih dan keadilan. Dibutuhkan ruang dialog, pelatihan kepemimpinan, dan literasi digital yang berbasis Injil.
Injil yang diberitakan oleh Adriaan van der Bijl memang mengubah sejarah Nduga, tetapi sejarah Injil tidak boleh berhenti pada misionaris. Kini giliran orang Nduga sendiri menjadi saksi Kristus dalam dunia modern, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan kehidupan yang jujur, beradab, dan berbelas kasih.
Jika gereja, pemerintah, dan rakyat Nduga dapat bersatu dalam semangat Injil yang membebaskan, maka Nduga akan menjadi model baru peradaban Injil di Tanah Papua, Injil yang mengubah bukan hanya jiwa, tetapi juga sistem sosial, politik, dan budaya.
Mari kita rayakan HUT Injil Masuk Nduga yang ke-62 tahun 2025 bukan dengan rutinitas dan seremonial tahunan, tetapi dengan pertobatan sosial-kolektif. Pertobatan bukan hanya berhenti dari dosa pribadi, tetapi memperbaiki sistem yang menindas, menghidupkan solidaritas, dan menegakkan keadilan.
Injil yang sejati adalah Injil yang memerdekakan manusia seutuhnya, dari dosa, dari kebodohan, dari ketidakadilan dan dari ketertinggalan kepada perubahan dan kemajuan sesuai perubahan zaman dengan prinsip-prinsip Injil dan Kerajaan Allah untuk menghargai alam ciptaan Tuhan, memajukan manusia demi kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.
Selamat Merefleksikan 62 Tahun Injil hadir dan berjumpa dengan orang Nduga serta turut mewarnai perjalanan sejarah peradaban orang Nduga.










