Pelajar dan Mahasiswa Nduga Seluruh Indonesia Tuntut Pelaku Mutilasi Dihukum Mati - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

Pelajar dan Mahasiswa Nduga Seluruh Indonesia Tuntut Pelaku Mutilasi Dihukum Mati

Para pelajar dan mahasiswa asal Nduga yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Seluruh Indonesia Wilayah Barat saat menuntut pelaku pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil asal Nduga dihukum mati. Para pelajar dan mahasiswa juga mengecam proses persidangan yang sejak awal berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku. Foto: Istimewa

Loading

SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Seluruh Indonesia Wilayah Barat menuntut pelaku pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil asal Nduga dihukum mati.

Para pelajar dan mahasiswa juga mengecam proses persidangan yang sejak awal berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku.

“Kami menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan Pasal 480 KUHP. Hakim Militer Tinggi III Surabaya dan Orditurat Tinggi Makassar sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku,” kata Pinus Nirigi dan Laorens, pengurus Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Seluruh Indonesia Wilayah Barat melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Salatiga, Jawa Tengah, Jakarta, Kamis (19/1).

Menurut Pinus dan Laorens, para pelajar dan mahasiswa juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak manapun selama persidangan serlangsung. Setiap pelaku wajib diberikan hukuman setimpal perbuatannya.

“Mahkamah Agung segera mencabut dan mengatrol dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan. Kami juga menuntut pelaku untuk dihukum mati,” katanya.

Para pelajar dan mahasiswa mendesak Presiden Jokowi untuk melihat segala fakta proses persidangan bagi orang Papua secara langsung. Mereka juga meminta Menteri Politik Hukum dan Keamanan melakukan kontrol atas setiap persidangan dalam setia kasus hukum yang terjadi di Papua.

“Kami juga meminta Panglima TNI melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum secara transparan dan akuntabel bagi para anggotanya yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi di Timika,” tegas Pinus dan Laorens.

Mereka juga meminta Ketua Mahkamah Agung melakukan pemantauan langsung atas kinerja perangkat peradilan yang menyidangkan para terdakwa anggota militer maupun sipil.

Selain itu, meminta Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia segera memutuskan permohonan untuk memberikan perlindungan serta pemulihan yang telah diajukan oleh keluarga para korban.

Para pelajar dan mahasiswa asal Nduga tersebut menguraikan, insiden pembunuhan disertai mutilasi menimpa empat warga sipil asal Nduga pada 22 Agustus 2022. Keempat warga tersebut yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemanion Nirigi, dan Atis Tini. Pembunuhan disertai mutilasi disebut-sebur dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis.

Hingga saat ini, ada sepuluh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Enam di antaranya merupakan prajurit TNI aktif dari Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Enam terdakwa prajurit TNI yang disidangkan yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua.

Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Untuk empat tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum.

Proses persidangan pelaku militer sudah berlangsung sejak tahap pertama digelar pada 12-14 Desember 2022 di Jayapura dengan agenda pemeriksaan pelaku, pemeriksaan saksi korban, dan penjualan senapan api. Tahap selanjutnya, pada 16-17 Januari pemeriksaan tersangka Mayor Hermanto Fransiskus Dakhi dan persidangan lanjutan pada 19 Januari 2023.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM pada 16 Januari 2023 menyebutkan, ada beberapa hal yang berjalan serampangan dan terkesan melindungi pelaku TNI. Di antaranya persidangan tidak akuntabel, transparan, pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa tidak cermat menggunakan Pasal 480 KUHP dan jauh dari harapan keluarga.

“Sejak awal kami mahasiswa telah menyatakan agar proses hukum harus dilakukan secara transparan dan terbuka untuk umum. Sesuai dengan permintaan keluarga juga bahwa proses hukum harus dilakukan di Timika. Entah itu pelaku sipil maupun militer,” kata Pinus dan Laorens.

Belajar dari berbagai kasus yang ditangani oleh pengadilan militer selama ini, selalu dilakukan tertutup dan tidak transparan. Pada pengadilan HAM juga mengalami persoalan yang sama. Sebut saja kasus Biak Berdarah (1998), Paniai Berdarah (2014), Wasior Berdarah (2001), dan kasus lainya.

Parahnya, dalam kasus Paniai Berdarah, tersangka Isak Sattu divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar pada Desember 2022. “Dari proses-proses ini kita melihat bahwa negara cenderung dengan sengaja melakukan pembiaran dan tidak memiliki niat baik,” tegas Pinus dan Laorens. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :