TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Sejumlah massa dari solidaritas mahasiswa dan rakyat Papua, Jumat (21/11) menggelar unjuk rasa damai memperingati 24 tahun Otonomi Khusus (Otsus) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika, Jalan Cenderawasih, Timika, kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Sebelum melakukan akdi unjuk rasa, massa berkumpul di sejumlah titik di beberapa lokasi seperti SP 2, Timika Indah, Pasar Baru dan Pasar Lama. Dari titik-titik tersebut massa kemudian berjalan menuju kantor DPRK Mimika sambil berorasi. Aksi bertajuk 24 Tahun Kegagalan Otonomi Khusus dan Selamatkan Komoditi Lokal di Seluruh Tanah Papua.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Mimika AKBP Billyandha Hildiario Budiman mengatakan, pihaknya menerjunkan 150 personil untuk mengamankan aksi tersebut agar berjalan damai.
“Iya benar, sementara personil sudah berada di Kantor DPRK dan mengamankan giat tersebut,” ujar Billyandha Hildiario Budiman di Timika, Papua Tengah, Jumat (21/11).
Menurut Retno Wulandari, SH, MH otonomi khusus terhadap Papua pertama kali diberikan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Latar belakang utama pemberian otonomi khusus tersebut untuk mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, ujar Retno, Kepala Bidang Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Desa, Kedeputian Bidang Polhukam Sekretariat Kabinet, otonomi khusus diberikan terkait sejumlah hal. Pertama, untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
Kedua, memberikan penghargaan atas kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Ketiga, memastikan pengelolaan sumber daya alam dan penyelenggaraan pemerintahan dapat mewujudkan tercapainya kesejahteraan masyarakat agar tidak lagi ada kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya.
“Pemberian otonomi khusus bagi Papua dilakukan pada momentum yang tepat, yaitu saat orde reformasi dan ketika ada tuntutan masyarakat Papua untuk mengembalikan nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua,” ujar Retno mengutip setkab.go.id, 19 Februati 2024.
Pada saat itu, lanjut Retno, pemerintah bertekad untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, misalnya pengakuan terhadap eksistensi hak adat, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) serta penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua, yaitu memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi provinsi di Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan secara khusus serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Kebijakan otsus juga menempatkan orang asli papua (OAP) sebagai subyek utama sekaligus sebagai obyek dalam pelaksanaan pembangunan di Papua.
Saat ini UU Nomor 21 Tahun 2001 telah diubah sebanyak dua kali, pertama dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2021. Perubahan pertama UU Otsus Papua Tahun 2008 adalah dalam rangka mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta menghapus ketentuan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Dengan demikian, pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Papua dilakukan sama seperti daerah lainnya, yaitu melalui pemilihan langsung. Perubahan UU Otsus Papua kedua tahun 2021 dilakukan dalam rangka penyempurnaan kebijakan-kebijakan otsus Papua khususnya mengenai pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan di Papua, dan kebijakan pemberian dana otsus serta perbaikan tata kelola dana otsus.
“Sebagai pelaksanaan lebih lanjut atas UU Otsus Papua, telah disusun Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua (PP Kewenangan Papua) dan PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua,” kata Retno. (*)










