Oleh Paskalis Kossay
Mantan Anggota DPR RI
BERBICARA masalah korupsi di Indonesia, sudah menjadi tabiat bahkan membudaya. Pun dilakukan dengan sadar dan sistemik kemudian masuk dalam sistem penyelenggaraan negara. Tindakan penyalahgunaan wewenang atau jabatan resmi untuk keuntungan pribadi atau orang lain lalu berujung merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Korupsi sesungguhnya adalah perbuatan melawan hukum dan norma, yang bisa berupa penggelapan uang, suap atau keuntungan pribadi lainnya yang didapatkan secara tidak sah. Korupsi merupakan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan tugas-tugas resmi jabatan.
Kekuasaan atau jabatan digunakan untuk keuntungan diri sendiri atau orang terdekat, baik melalui uang, status maupun fasilitas lainnya. Tindakan ini melanggar peraturan hukum yang berlaku seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dampak utama dari tindakan korupsi tentu merugikan keuangan atau perekonomian negara dan kepentingan kesejahteraan masyarakat. Karena korupsi menyebabkan lesunya pertumbuhan ekonomi, investasi, dan penurunan pendapatan pajak kepada negara. Korupsi juga berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik, rendahnya kualitas barang dan jasa yang diberikan kepada masyarakat.
Dampak lebih lanjut ialah menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik. Bahkan menimbulkan ketidakadilan sosial dan masyarakat yang kurang mampu seringkali menjadi korban. Sedangkan koruptor mendapatkan keuntungan tanpa batas.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilakukan, namun upaya tersebut seperti menjaring angin. Perilaku korupsi sudah menggurita dan membudaya dalam sistem penyelenggaraan negara, sehingga sulit diberantas.
Hal ini tergambar dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2024 di mana posisi Indonesia disebutkan menjadi 37 dengan peringkat 99 dari 180 negara, meningkat tiga poin dari tahun sebelumnya. Data ini dirilis oleh Transparency International (TI) dan dihitung berdasarkan persepsi publik terhadap korupsi dalam sektor publik dan politik dengan skala 0 (paling korup) hingga 100 (paling bersih).
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2024, negara yang paling korup di dunia adalah Sudan Selatan dengan skor 8, posisi kedua ditempati Somalia dengan skor 9, diikuti Venezuela dengan skor 10, dan seterusnya.
Sementara negara yang paling bersih dari korupsi di dunia tahun 2024 adalah Denmark, dengan skor 90, disusul Irlandia dengan skor 88, dan Singapura negara tetangga terdekat Indonesia dengan skor 84. Pengukuran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) ini dilakukan Transparency International.
Menarik dicermati, dari data Indeks Persepsi Korupsi, ternyata Singapura negara tetangga Indonesia masuk dalam posisi ketiga dari negara paling bersih korupsi di dunia. Ini sebenarnya tamparan memalukan bagi Indonesia. Posisi Indonesia negara terkorup dengan skor 37 posisi 99. Seharusnya Indonesia memperbaiki posisi dari Indeks Persepsi Terkorup ini ke posisi yang mendekati negara bersih korupsi jika tidak harus bersih-bersih amat.
Bagaimana kiat-kiat Indonesia untuk memperbaiki posisi dari persepsi terkorup menuju negara bersih dari korupsi. Sebaiknya Indonesia belajar dari pengalaman Singapura, negara tetangga terdekat kawasan Asia Tenggara atau Denmark, negara terjauh kawasan Skandinavia, Eropa Timur.
Jika Indonesia harus belajar dari pengalaman Denmark dalam pemberantasan korupsi, misalnya, bahwa Denmark mengatasi korupsi melalui kombinasi peningkatan transparansi (publikasi pengeluaran pejabat, keterbukaan informasi) penegakan hukum yang kuat dengan unit anti korupsi di setiap lembaga dilakukan pendidikan dan pelatihan anti korupsi bagi pejabat publik, partisipasi aktif masyarakat melalui laporan dan budaya menolak gratifikasi serta penyitaan kekayaan dari pejabat yang korup.
Pejabat publik diwajibkan untuk mempublikasikan pengeluaran bulanan mereka untuk membantu meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan publik. Kemudian, mekanisme keterbukaan informasi yang luas dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Setiap lembaga pemerintahan di Denmark memiliki unit khusus yang bertugas menangani dan menindaklanjuti laporan dugaan korupsi dapat dikenakan hukuman denda dan penjara serta dilakukan upaya penyitaan kekayaan mereka.
Jika Indonesia bertekad keluar dari indeks persepsi negara terkorup, sudah seharusnya belajar dari Denmark. Indonesia sudah mempunyai infrastruktur hukum pemberantasan korupsi namun komitmen pemberantasan korupsi masih sangat lemah dan rapuh. Presiden seharusnya bertindak tegas dan konsisten dalam komitmen pemberantasan korupsi dengan landasan hukum dan moral yang kokoh.
Jika ingin menjadi negara bersih dari korupsi bisa mengambil contoh selain Denmark, keberhasilan negeri China dalam pemberantasan korupsi bisa menjadi model untuk Indonesia. Presiden China mengumumkan sediakan 100 peti mati, yang satu untuk dirinya: bila aku melakukan korupsi, sisanya bagi pejabat yang terbukti melakukan korupsi.
Dalam jangka waktu sekitar dua tahun ratusan pejabat ditahan dalam penjara karena terbukti melakukan korupsi dan puluhan dihukum mati serta lebih dari 200 kasus korupsi berhasil diungkap. Dalam kaitan ini arah politik Presiden Prabowo lebih cenderung ke China, sekarang apa salahnya konsep pemberantasan korupsi negeri tirai bambu ini diadopsi untuk diberlakukan di Indonesia. Semoga. (*)








