Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
DI BANYAK kota di Tanah Papua, pemandangan ekonomi terlihat jelas dan seragam. Kios sembako, toko kelontong, bengkel, usaha bahan bangunan, warung makan, hingga agen distribusi barang sebagian besar dimiliki para pendatang. Mereka menguasai rantai pasokan, menentukan harga, dan menjalankan hampir seluruh roda ekonomi di tingkat lokal. Sementara itu, orang asli Papua lebih banyak bekerja di kantor pemerintahan sebagai pegawai, tenaga pendidikan, tenaga kesehatan, aparat keamanan, atau staf administrasi.
Perbedaan ini membentuk pola ketimpangan yang semakin terasa: orang Papua menjadi pekerja negara, sementara pendatang menjadi pemilik ekonomi. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan, tetapi mengajak melihat kenyataan dengan jujur, memahami akar persoalan, dan mencari jalan agar orang Papua menjadi pelaku utama dalam ekonomi di tanahnya sendiri.
Ketika Negara Menjadi Jalan Hidup Orang Papua
Sejak integrasi, negara hadir begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Papua. Pembangunan, layanan publik, pendidikan, dan keamanan semuanya dijalankan melalui jalur pemerintahan. Profesi sebagai pegawai negeri atau aparat dianggap sebagai pilihan hidup paling aman. Gaji tetap, jaminan sosial, dan status di mata masyarakat membuat pekerjaan ini sangat diminati.
Ketika Otonomi Khusus mulai berlaku, peluang menjadi ASN semakin terbuka bagi orang asli Papua. Banyak keluarga berharap anak mereka bekerja sebagai pegawai pemerintah. Di banyak tempat, sukses selalu dikaitkan dengan “jadi PNS”. Dunia usaha jarang dipandang sebagai pilihan yang menjanjikan, sehingga tidak banyak anak Papua tumbuh dengan cita-cita menjadi pengusaha.
Akibatnya, generasi Papua mengalir ke sektor negara. Energi kolektif untuk terlibat dalam usaha jarang berkembang. Ruang-ruang ekonomi pun secara perlahan ditinggalkan. Ruang kosong ini akhirnya diisi oleh mereka yang lebih siap: para pendatang.
Ketika Ruang Usaha Kosong, Pendatang Mengisi dengan Cepat
Para pendatang datang dari latar budaya yang berbeda. Banyak dari mereka tumbuh dalam keluarga pedagang yang sudah berpengalaman dalam usaha kecil dan menengah. Mereka terbiasa menghitung modal, menata barang, melayani pelanggan, dan menghadapi persaingan sejak muda. Ketika tiba di Papua, mereka melihat pasar yang besar dengan kebutuhan tinggi, harga barang yang relatif tinggi, dan peluang usaha yang terbuka lebar.
Dengan modal kecil, mereka membuka kios atau usaha makanan. Ketika usaha berkembang, mereka menambah stok, memperluas jaringan, dan membangun kerja sama dengan keluarga atau kerabat di daerah asal. Barang-barang dari Surabaya, Makassar, Manado, dan kota lain dikirim cepat melalui jalur laut maupun udara. Kekuatan jaringan ini membuat mereka mampu menawarkan barang dengan harga stabil.
Dalam waktu tidak terlalu lama, pendatang membangun ekosistem ekonomi yang kuat. Mereka menguasai toko grosir, kios eceran, usaha bahan bangunan, hingga jasa perhubungan kecil. Perlahan, mereka menjadi tulang punggung perputaran ekonomi lokal. Sementara itu, orang Papua tetap berada pada jalur profesi yang sama: pegawai. Dua jalur yang berbeda ini menciptakan kesenjangan yang semakin melebar.
Hambatan Nyata Orang Papua dalam Memasuki Dunia Usaha
Orang Papua bukan tidak mampu menjadi pengusaha. Tetapi mereka menghadapi hambatan besar yang bersifat kultural, struktural, dan keterampilan.
Pertama, banyak orang Papua sulit mengakses kredit usaha karena minimnya aset formal yang bisa dijadikan jaminan. Tanah adat tidak dapat diagunkan ke bank, sehingga modal usaha sulit diperoleh.
Kedua, keterampilan manajemen usaha belum berkembang luas. Banyak OAP memulai usaha hanya berbekal keberanian, tanpa pengetahuan tentang pembukuan, strategi harga, pengelolaan stok, pemasaran, dan pengaturan arus kas. Kondisi ini membuat usaha rentan runtuh ketika menghadapi tekanan pasar.
Ketiga, solidaritas keluarga besar sering menjadi tantangan. Keuntungan usaha sering digunakan untuk kebutuhan sosial keluarga atau adat. Niat berbagi adalah hal mulia, tetapi ketika modal usaha terus berkurang, usaha sulit bertahan.
Keempat, pelatihan usaha dari pemerintah sering bersifat singkat dan tidak didampingi tindak lanjut. Pelatihan tiga hari tidak cukup untuk membangun pengusaha yang kuat. OAP membutuhkan pendamping yang bisa hadir dalam proses berbulan-bulan hingga usaha mereka stabil.
Kelima, minimnya role model pengusaha Papua membuat dunia usaha tidak masuk dalam imajinasi masa depan anak-anak Papua. Mereka lebih sering melihat pegawai negeri sebagai figur sukses, bukan wirausaha.
Hambatan-hambatan ini bukan menyalahkan budaya Papua, tetapi menunjukkan bahwa usaha membutuhkan ekosistem yang selama ini tidak tersedia bagi OAP.
Dampak Ketimpangan Ekonomi bagi Masa Depan Papua
Ketika pendatang menguasai sebagian besar ruang ekonomi, sementara orang Papua hanya berada di sektor negara, muncul ketimpangan struktural yang mengganggu. Setiap hari, uang mengalir dari masyarakat Papua ke pemilik usaha dari luar Papua. Pendatang mengontrol pasokan barang, harga kebutuhan pokok, dan sebagian besar aktivitas ekonomi penting.
Dalam jangka panjang, ketimpangan ini membuat orang Papua kehilangan posisi tawar. Mereka menjadi konsumen di tanah sendiri. Perasaan tidak adil ini perlahan menumpuk dan dapat memicu ketegangan sosial. Jika ekonomi bukan milik orang Papua, maka masa depan sosial dan politik mereka juga melemah.
Karena itu, memperkuat peran OAP dalam ekonomi bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi persoalan martabat dan kelangsungan masa depan Papua.
Jalan Keluar: Mengembalikan Peran Ekonomi kepada Orang Papua
Untuk mengoreksi ketimpangan ini, dibutuhkan langkah-langkah konkret yang dijalankan secara konsisten.
Pertama, pemerintah perlu menyiapkan afirmasi ekonomi khusus bagi OAP. Afirmasi tidak boleh hanya berlaku di dunia ASN. Pemerintah harus menyiapkan zonasi usaha untuk OAP, prioritas kios di pasar modern maupun tradisional, kemudahan izin usaha, serta fasilitas modal melalui skema kredit lunak berbasis pendampingan.
Kedua, pendampingan kewirausahaan harus dilakukan jangka panjang. OAP membutuhkan mentor yang terus mendampingi tahap demi tahap, mulai dari pembukuan sederhana, pengelolaan stok, pemasaran digital, hingga strategi menghadapi persaingan. Pelatihan singkat harus diubah menjadi program pembinaan berkelanjutan.
Ketiga, koperasi orang Papua perlu dibangun secara profesional. Koperasi harus menjadi pusat pembelian barang grosir, penyedia harga murah, dan tempat pelaku usaha kecil mengambil stok. Tanpa koperasi yang kuat, pelaku usaha OAP sulit bersaing dengan jaringan keluarga pendatang yang sudah solid.
Keempat, gereja dan lembaga adat perlu membentuk budaya usaha yang baru. Gereja dapat mengajarkan disiplin finansial dan etos kerja, sementara lembaga adat dapat membantu mengatur batas tanggung jawab sosial agar modal usaha tidak cepat habis untuk kebutuhan keluarga besar.
Kelima, tokoh-tokoh pengusaha OAP harus ditampilkan dan menjadi inspirasi. Kisah sukses mereka harus disebarkan agar anak muda Papua melihat bahwa menjadi pengusaha adalah pilihan terhormat dan mulia.
Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka orang Papua dapat memasuki kembali ruang ekonomi yang selama ini dikuasai pendatang.
Penutup: Saatnya Orang Papua Menjadi Pemilik Ekonomi Tanahnya Sendiri
Papua adalah tanah yang kaya. Tetapi kekayaan itu hanya bermakna jika masyarakatnya menjadi pemilik penting dalam perekonomian daerah. Ketika pendatang menguasai ekonomi dan orang Papua menjadi konsumen, masa depan Papua menjadi rapuh. Mengembalikan orang Papua ke pusat ekonomi bukan hanya upaya kesejahteraan, tetapi bagian dari perjuangan menjaga martabat dan masa depan.
Menjadi pengusaha adalah langkah besar untuk merebut ruang ekonomi yang hilang. Ini bukan sekadar tentang uang, tetapi tentang harga diri. Ini tentang memastikan bahwa kekayaan Papua kembali dikelola oleh tangan Papua sendiri. Dan kini saatnya generasi Papua bergerak, belajar, dan berdiri sebagai pelaku utama perekonomian di tanah leluhur mereka.








