Oleh: Yakobus Dumupa
(Orang asli Papua, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
Pendahuluan: Janji yang Diubah Jadi Luka
Dua puluh empat tahun lalu, rakyat Papua dijejali dengan sebuah janji besar ketika pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Kata “khusus” yang melekat pada undang-undang itu dipromosikan sebagai pengakuan terhadap keunikan Papua. Orang asli Papua diyakinkan bahwa mereka akan diberi ruang luas untuk mengatur dirinya sendiri, menjaga jati diri budaya dan politiknya, serta menikmati hasil dari kekayaan alam yang melimpah di tanah mereka. Bagi Jakarta, Otsus adalah kompromi politik: alat tawar untuk meredam desakan referendum, menenangkan sorotan internasional, sekaligus menjaga Papua tetap berada dalam bingkai NKRI.
Namun janji itu hanya bertahan di atas kertas. Dua dekade lebih pelaksanaan Otsus tidak membawa perubahan berarti. Data resmi menunjukkan betapa Otsus gagal: tingkat kemiskinan di Papua pada 2020 masih di atas 26%, dua kali lipat rata-rata nasional. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua juga yang terendah di Indonesia, hanya 60,62 pada tahun 2021, jauh tertinggal dibandingkan Jakarta yang mencapai lebih dari 80. Dana triliunan yang digelontorkan sejak 2002 hingga 2021 — sekitar Rp 138 triliun — tidak membuat rakyat Papua keluar dari lingkaran kemiskinan. Alih-alih melahirkan kesejahteraan, Otsus justru melahirkan elite baru, birokrasi gemuk, dan proyek-proyek pembangunan yang banyak berpihak pada migran serta perusahaan besar.
Puncak dari semua itu adalah revisi Otsus pada 2021 melalui Undang-Undang Nomor 2. Alih-alih menjadi momen evaluasi, revisi itu justru menjadi titik pengkhianatan baru. Janji besar yang dulu dipromosikan sebagai bentuk pengakuan kini dipangkas habis. Papua kehilangan hampir semua hal yang membuatnya berbeda.
Dari Jalan Damai Menjadi Alat Penipuan
Otonomi Khusus Papua lahir dalam suasana penuh tekanan. Pada awal 2000-an, Papua bergolak, suara referendum menguat, dan dunia internasional menyorot tajam kekerasan negara di wilayah ini. Jakarta menawarkan Otsus sebagai jalan tengah. Dengan Otsus, rakyat Papua dijanjikan hak-hak istimewa, sementara Indonesia tetap mempertahankan klaim kedaulatannya. Seolah-olah, inilah kompromi yang paling adil: Papua tetap berada di NKRI tetapi dengan status berbeda.
Namun sejak awal, Otsus tidak pernah dijalankan sepenuh hati. Dana Otsus yang besar memang diturunkan, tetapi pengelolaannya kabur. Transparansi minim, pengawasan lemah, dan ketimpangan pembangunan semakin dalam. Infrastruktur memang terlihat, tetapi banyak yang lebih menguntungkan pihak luar Papua. Sementara itu, tanah ulayat masyarakat adat dirampas, hutan ditebang, tambang emas dan tembaga digali, gas diekspor, tetapi rakyat asli tetap hidup dalam keterbelakangan.
Ketika rakyat Papua menuntut evaluasi total terhadap Otsus, pemerintah pusat tidak membuka ruang dialog. Aspirasi yang lahir dari gereja, adat, mahasiswa, dan masyarakat sipil diabaikan. Sebaliknya, pada 2021 Jakarta secara sepihak merevisi UU Otsus. Revisi yang dilakukan tergesa-gesa di Senayan ini diklaim sebagai “penguatan”. Tetapi rakyat Papua tahu, itu hanya kedok. Apa yang disebut penguatan sebenarnya adalah pencabikan.
Kekhususan yang Dicabik-Cabik
Pertama, dalam bidang politik, Papua kehilangan ruang demokrasi yang paling mendasar. UU 2001 memberi Papua hak membentuk partai politik lokal. Tetapi revisi 2021 menghapus hak itu. Padahal, partai lokal adalah kanal politik khas untuk menyalurkan aspirasi rakyat Papua yang sering tak terwakili partai nasional. Selain itu, kursi tambahan di DPR Papua untuk adat, agama, dan perempuan dicabut. Sebagai gantinya, kursi pengangkatan ditentukan oleh Presiden. Representasi politik orang asli Papua dilemahkan. Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dulu berwenang memberi pertimbangan atas calon gubernur, pemekaran, dan kebijakan besar kini dipreteli. Fungsinya dipersempit menjadi lembaga kultural tanpa otoritas politik. Mekanisme pemekaran daerah yang dulu harus mendapat persetujuan MRP dan DPRP kini sepenuhnya ditentukan pusat. Buktinya, pada 2022 Jakarta sepihak memekarkan Papua menjadi tiga provinsi baru.
Kedua, dalam bidang HAM dan rekonsiliasi, pintu keadilan ditutup rapat-rapat. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dijanjikan UU 2001 dihapus total. Pengadilan HAM Papua yang dulu diatur, hilang dari revisi. Pengadilan adat yang semestinya menjadi pengakuan terhadap hukum asli Papua tidak ditegaskan lagi. Semua jalur penyelesaian luka sejarah dimatikan. Negara dengan sadar menolak tanggung jawab atas kejahatan masa lalu dan memilih melanggengkan impunitas. Luka sejarah dibiarkan menganga, trauma kolektif dibiarkan membusuk.
Ketiga, dalam bidang keamanan, kekhususan Papua dilenyapkan. Kapolda Papua tidak lagi diangkat dengan pertimbangan gubernur, melainkan sepenuhnya ditentukan Jakarta. Polisi Papua tidak lagi diwajibkan menyesuaikan diri dengan kultur lokal, melainkan tetap berfungsi sebagai alat represif negara. Kekhususan keamanan hilang, diganti dengan pendekatan militeristik. Aparat keamanan terus menebar ketakutan, operasi bersenjata tak berhenti, rakyat sipil jadi korban, dan Papua tetap dijadikan ladang kekerasan.
Keempat, dalam bidang ekonomi dan keuangan, penipuan dilakukan lebih licik. Dana Otsus diperpanjang hingga 2041 dan dinaikkan jadi 2,25 persen DAU nasional, tetapi kendalinya ada di pusat. Dana bisa diturunkan langsung ke kabupaten/kota, memotong peran provinsi. Papua diberi uang, tetapi tidak diberi kuasa. Bagi hasil sumber daya alam yang dulu besar untuk Papua—70 persen migas, 80 persen kehutanan, 80 persen perikanan—dipreteli lewat UU Minerba dan aturan sektoral lain. Hak Papua memungut pajak khusus juga dipersempit. Tanah ulayat masyarakat adat yang dulu dijamin kini tunduk pada izin pusat. Hasilnya, Freeport tetap meraup miliaran dolar dari Papua, hutan tetap ditebang untuk sawit dan kayu, tetapi rakyat asli hanya jadi penonton yang terpinggirkan.
Kelima, dalam bidang kepegawaian, afirmasi bagi orang asli Papua juga dilemahkan. UU 2001 menjamin jabatan strategis diisi OAP. Revisi menyerahkannya ke peraturan pemerintah. Artinya, jaminan hukum hilang, nasib OAP ditentukan pusat. Rekrutmen PNS yang dulu memberi prioritas OAP pun kehilangan dasar kuat. Akibatnya, birokrasi Papua tetap didominasi orang luar, sementara orang asli Papua tersisih di tanahnya sendiri.
Keenam, dalam bidang budaya dan identitas, negara memperlihatkan wajah paling represif. UU 2001 memberi hak Papua memiliki simbol daerah berupa bendera dan himne. Tetapi pascarevisi, simbol ini dianggap makar. Bintang Kejora yang dulu diakui sebagai simbol budaya kini menjadi alasan kriminalisasi. Kurikulum lokal yang dulu dijanjikan dipersempit. Bahasa dan sejarah Papua makin tersisih. Identitas Papua bukan dihormati, melainkan ditekan.
Ketujuh, dalam hubungan luar negeri, Papua kehilangan haknya untuk berbicara. UU 2001 memberi ruang kerja sama terbatas dalam pendidikan, budaya, dan ekonomi. Kini, semua diawasi ketat Jakarta. Papua tidak lagi punya jendela, meski hanya untuk menyapa dunia.
Retorika Penguatan yang Menyesatkan
Jakarta menyebut revisi 2021 sebagai “penguatan”. Tetapi istilah itu hanyalah kosmetik. Apa yang disebut penguatan sejatinya adalah pencabutan. Dana memang ditambah, tetapi kewenangan dicabut. Nama “Otonomi Khusus” tetap dipakai, tetapi substansinya hilang. Jakarta mempertahankan baju Otsus untuk ditunjukkan ke dunia internasional, seolah Papua mendapat keistimewaan. Padahal tubuh di balik baju itu sudah dilucuti.
Retorika penguatan ini adalah bentuk penipuan politik. Pemerintah menipu rakyatnya sendiri, sekaligus menipu dunia. Otsus kini bukan instrumen perdamaian, melainkan alat kolonialisme gaya baru. Rakyat Papua dipaksa menerima dana yang dikendalikan pusat, sementara mereka kehilangan kuasa atas tanah, politik, hukum, dan identitas.
Dampak Nyata: Papua Semakin Terpojok
Dampak revisi Otsus nyata di lapangan. Rakyat Papua kehilangan ruang politik. Mereka kehilangan partai lokal, kursi adat, dan MRP yang berwibawa. Dalam HAM, mereka kehilangan KKR, pengadilan HAM, dan pengadilan adat. Semua jalur keadilan ditutup. Dalam ekonomi, mereka tetap miskin meski tanahnya kaya. Kekayaan alam terus diangkut keluar, hak fiskal semakin sempit, dan tanah ulayat makin tergerus.
Dalam budaya, identitas Papua makin dikriminalisasi. Bendera dan himne dianggap makar. Kurikulum lokal dilemahkan, bahasa Papua dipinggirkan, sejarah Papua dipelintir. Dalam keamanan, represi terus terjadi. Tidak ada kekhususan, tidak ada penghormatan pada kultur, hanya kekerasan berulang.
Hasilnya jelas: revisi Otsus menjadikan Papua semakin terpojok. Tanpa ruang politik, tanpa jalur rekonsiliasi, tanpa kendali ekonomi, tanpa pengakuan identitas, tanpa penghormatan kemanusiaan.
Kesimpulan: Otsus Tinggal Nama
Revisi Otsus 2021 adalah pengkhianatan besar Jakarta terhadap Papua. Ia bukan memperkuat kekhususan, melainkan menghapusnya. Ia bukan jalan damai, melainkan jalan penipuan. Jakarta boleh terus membohongi dunia dengan retorika “Otsus untuk Papua”, tetapi rakyat Papua tahu: Otsus tanpa kekhususan hanyalah alat kontrol.
Dua puluh empat tahun lalu, Otsus lahir sebagai janji besar. Tetapi setelah hampir seperempat abad, Otsus mati sebagai penipuan besar. Dari politik, hukum, HAM, ekonomi, budaya, hingga identitas, semuanya dicabik. Kini, Otsus Papua hanya tinggal nama. Kosong tanpa isi.
Inilah wajah asli negara: menipu dengan undang-undang, memperdaya dengan janji, menindas dengan kekuasaan. Rakyat Papua pantas marah. Dan kemarahan itu bukanlah kejahatan, melainkan jeritan panjang dari penipuan Jakarta. Jeritan itu akan terus bergema selama kekhususan Papua hanya dijadikan alat politik, bukan jalan sejati menuju keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan.