OPINI  

“Kami Menyesal Bergabung Dengan Republik Ini”: Resonansi Sepanjang Masa

Alex Runggeary, Anggota Satupena. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Alex Runggeary

Anggota Satupena

KALA itu, pada satu senja di Kampung Sumberbaba 1959, kami baru saja tiba dengan mendayung sepanjang hari dari Tanjung Andei setelah menyeberang Selat Sasorai, Pulau Kurudu. Orang duduk bergerombol setelah makan dan dilanjutkan dengan minum saguer sambil ngobrol

Kami sesungguhnya dalam perjalanan menuju Serui untuk sekolah di Jongens Vervolg School (JVVS) dan Meisjes Vervolg School (MVVS). Di antar oleh orang tua kami. Pada masa itu para pemuda sangat antusias mendengar cerita tentang Indonesia. Anak anak seperti kami baru pertama kali mendengar bahkan kata Indonesia. 

Apa Itu Indonesia

Para pemuda dengan bersemangat ingin mencari jalan pergi ke Indonesia yang katanya di sana hidup lebih senang. Walau mereka sendiri tidak paham apa dan bagaimana sesungguhnya Indonesia itu.

Bahkan Pendeta Isak Semuel (IS) Kijne yang baru saja meninggalkan Serui setahun sebelumnya 1958 dari Serui pulang ke negeri Belanda, ia sesungguhnya gelisah mengamati perilaku pemuda pemuda Serui yang bersemangat dan mau bergabung dengan Indonesia tanpa tahu apa itu sesungguhnya. IS Kijne rada menyesal karena ia telah mempertaruhkan hidupnya untuk kehidupan orang-orang Kristen di sini. Dan inilah upah yang ia terima. 

“Saya pulang dengan keyakinan bahwa Tanah dan Bangsa Papua akan dikuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik atas segala kekayaan dan hasil tanah ini. Tetapi mereka tidak akan membangun manusia Papua dengan Kasih Sayang. Sebab Kebenaran akan diputarbalikkan. Sebab banyak hal baru yang membuat orang Papua akan menyesal. Tetapi itu bukan maksud Tuhan karena itu keinginan manusia.” 

IS Kijne meninggal setahun setelah mengetahui kalau orang Papua telah memilih bergabung dengan Indonesia lewat Act of No Choice tahun 1969 yang penuh kecurangan itu. (Alex Runggeary: The Darkened Valley, Orbit 2015). Gambaran kekecewaan Pendeta Besar Isak Semuel Kijne menjadi sempurna di akhir hidupnya: menyesal.

Jauh di kemudian hari adalah Dr (HC) Barnabas Suebu, SH ketika divonis penjara karena kasus korupsi yang tidak pernah terbukti. Kata Bas Suebu, “Saya menyesal Papua telah bergabung dengan Indonesia.” Bas baru dibebaskan setelah menjalani hukuman selama tujuh tahun. 

Ketika suatu ketika saya mengajak beliau mendampingi saya menghadap Wakil Presiden (kala itu) Prof Dr KH Ma’ruf Amin dalam rangka memberikan masukan terkait pengalaman JDF membangun ekonomi rakyat Papua, Pak Bas hanya bisa tertawa rada kecewa. 

“Ado Lex, saya tidak bisa bantu. Saya tidak suka mereka. Mereka sudah kasih bui saya selama tujuh tahun.” Sampai hari ini pembangunan ekonomi rakyat Papua tidak ke mana-mana. Dan hasilnya, rakyat Papua termiskin seluruh Indonesia.

Hari ini nada yang sama diserukan oleh Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua Pendeta Mofu. Kata Mofu, “Kami menyesal telah bergabung dengan Republik ini.” Mofu menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memenangkan MDF dalam pertarungan Pemilihan Gubernur Papua melawan  BTM

Kekesalan dan penyesalan akan selalu datang terlambat. Tetapi walau bagaimanapun, resonansinya akan terus bergaung melintasi waktu. Dari Sumberbaba 1959 sampai hari ini, 66 tahun kemudian, saya belajar: apa itu Indonesia. 

Indonesia bukanlah negara ideal seperti banyak dari kita sudah tahu itu. Ingat, tidak hanya orang Papua mengalami situasi hidup penuh kecurangan dan ketidakadilan. Tetapi keadaan ini dialami seluruh bangsa Indonesia. 

Artinya ada yang salah. Kita berharap ke depan Indonesia bisa memperbaiki diri. Untuk ke sana masih harus menempuh jalan berliku dan panjang. And life must go on. Mari menerima kenyataan hidup yang pahit tetapi kita harus tetap terus melangkah. Anyway!