OPINI  

Jangan Salah Urus Papua

Frans Maniagasi, Pengamat Politik Lokal Papua. Foto: Istimewa

Oleh Frans Maniagasi

Pengamat Politik Lokal Papua

AKSI demonstrasi dan protes ribuan masyarakat Intan Jaya di Sugapa, Papua Tengah (28/10/2025) yang menuntut penarikan pasukan TNI dari wilayah ini membutuhan perhatian serius dan sungguh-sungguh dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Jangan kita salah urus Papua.

Masalah Papua kian serius bahkan dibayangi anomali, konflik dan kekerasan yang mencerminkan masyarakat hidup dalam suasana cemas, ketakutan dan ketiadaan harapan akan masa depan.

Oleh karena itu mereka membutuhkan rasa aman, nyaman, dan damai sebagai syarat absolut untuk dilaksanakan akselarasi pembangunan (Samuel Huntington, 1968). Kebutuhan akan rasa aman, nyaman dan damai fondasi untuk implementasi program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Persoalan Intan Jaya menjadi gambaran betapa kompleksnya  masalah Papua mulai dari hulu akarnya – seperti diamanatkan oleh pasal 45, 46 (UU No 21/2001) tentang Otsus Papua dan hasil kajian LIPI (Papua Road Map,  2004) hingga hilir angka kemiskinan yang tinggi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah, miras, marginalisasi, diskriminasi dan rasisme, kegagalan pembangunan, dan pertanggungjawaban atas kekerasan oleh negara, eksploitasi besar-besaran lahan masyarakat adat yang dimanfaatkan untuk PSN, pembabatan hutan  berhektar-hektar guna pembukaan kebun kelapa sawit dan penanaman tebu.

Akan tetapi dari berbagai persoalan itu akar masalah utamanya justru menjadi entry point melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), namun tak pernah tersentuh. Pada hal melalui KKR dapat didialogkan dan disepakati win–win solusi terbaik, antara pemerintah dan masyarakat Papua termasuk dengan kelompok bersenjata (OPM/KKB).

Kasus Aceh di Helsinki (2005) kesepakatan damai antara pemerintah dengan GAM dapat menjadi contoh. Sesulit apa pun masalah Papua sebagai bangsa dan negara dapat terselesaikan asalkan ada niatan atau kemauan dan komitmen politik dari pucuk pimpinan negara untuk mendamaikan.

Perubahan Paradigma

Otomatis solusi masalah perlu perubahaan paradigma meminimalisasi pendekatan keamanan dan bisnis eksploitatif SDA, sehingga di Papua kita mengurangi pomeo oleh para aktivis lingkungan dan HAM realitas dinamai Papua dari genocida hingga ecosida. Pada hal era digitalisasi saat ini kedua pendekatan tersebut mestinya didekati dengan dialog yang demokratis dan bermartabat.

Sampai saat ini tidak ada langkah yang menunjukkan adanya perubahaan paradigma justru semakin kokoh bahwa penyelesaian gerakan separatis(me) Papua merdeka mesti dihadapi dengan senjata.

Hal itu ditandai dengan kehadiran dan keberadaan Satgas TNI di Papua dengan komandan yang berbeda-beda dikontrol dari Pusat. Sebut saja Satgas Pamtas, Pamrahwan, Kogabwilhan, Satgas Hameba, dan Satgas Pinang Sirih. Satgas Pamrahwan didirikan di titik-titik investasi dengan Satgas Pangan.

Ada juga Komcad dan Sarjana Pembangunan yang dibentuk pada awal tahun 2025 di Ifar Gunung (Kabupaten Jayapura) untuk mengurusi MBG. Konsentrasi terbesar kekuatan operasi TNI ada di Timika (Papua Tengah) oleh Kogabwilhan dengan gabungan tiga matra TNI (AD, AU, dan AL). Lalu Satgas Habema (Harus Bersih Maksimal) seolah-olah menunjukkan rivalitas dengan Polri di Papua (Laporan Aliansi Demokrasi Untuk Papua, 2025).

Momentum Meminimalisasi Konflik

Sayang sekali penanganan masalah Papua hanya parsial masih salah urus. Papua menjadi lahan subur tujuan eksploitasi SDA yang menjadi prioritas untuk mendongrak investasi tapi problem dasarnya belum tersentuh. Saban hari kita hanya menyaksikan dan mendengarkan konflik dan kekerasan bersenjata antara TNI versus KKB/OPM dengan korban dikedua belah pihak dan masyarakat sipil.

Semakin miris ketika korbannya aparat keamanan (TNI/Polri), KKB/OPM dan masyarakat sipil serta jeritan masyarakat adat karena lahannya dimanfaatkan tanpa adanya ganti untung yang memadai oleh perusahaan milik  penguasa dan pengusaha dari Jakarta.

Padahal momentum pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebenarnya merupakan peluang untuk menyelesaikan masalah Papua. Apalagi Prabowo Subiyanto memiliki hubungan emosional yang erat dengan masyarakat Papua (Mapenduma 1996), menjadi momentum politik yang dapat dimanfaatkan -paling tidak meminimalisasi konflik dan kekerasan, sekaligus merefres agar percepatan pembangunan Papua (2022-2041) dapat dilaksanakan dalam kondisi stabil dan politik lokal yang tertib (political order) dan damai. Sehingga terhindar dari kesalahan mengurus Papua.

Sumber: Kompas.id, Jumat, 7 November 2025