Genosida Sudan: Mengapa Indonesia Diam?

Genosida Sudan: Mengapa Indonesia Diam? Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

SUDAN sedang terbakar. Ribuan orang dibantai, perempuan diperkosa, anak-anak kelaparan, dan jutaan manusia diusir dari tanah mereka. Dunia menyebutnya genosida. Namun dari Indonesia—negara yang begitu lantang menuding Israel sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan—tidak terdengar apa pun. Tidak ada kecaman resmi, tidak ada doa bersama, tidak ada aksi kemanusiaan. Pemerintah diam, rakyat diam, seolah nyawa manusia di Afrika tak berharga dibanding di Timur Tengah.

Pelaku utama genosida di Sudan adalah milisi Rapid Support Forces (RSF), pewaris langsung kelompok Janjaweed yang pernah menebar teror di Darfur. Mereka membantai suku-suku non-Arab seperti Masalit dan Fur. Desa-desa dibakar, perempuan dijadikan budak seks, anak-anak dibiarkan mati kelaparan. Laporan PBB dan lembaga HAM menyebut lebih dari dua belas juta warga kini hidup sebagai pengungsi. Beberapa laporan juga mengungkap bahwa sejumlah pejuang asing berafiliasi dengan Boko Haram dan kelompok Islam radikal di Afrika Barat ikut memperparah kekerasan, mengibarkan bendera agama untuk membenarkan pembunuhan. Atas nama Islam, darah mengalir. Atas nama iman, manusia disembelih.

Inilah wajah lain dari kebiadaban yang bersembunyi di balik simbol agama. Mereka yang mengaku berjuang di jalan Allah justru menodai nama-Nya dengan kekerasan dan kezaliman. Para pelaku genosida itu sama biadabnya dengan Zionis yang membantai warga Gaza. Bedanya, mereka melakukannya dengan serban di kepala dan ayat di mulut. Islam tidak lagi menjadi ajaran rahmat, melainkan kedok bagi kerakusan akan kuasa dan darah. Dunia menyaksikan, dan sebagian dunia Islam memilih bungkam.

Pemerintah Indonesia dan rakyatnya ikut tenggelam dalam kebisuan yang memalukan. Pejabat yang biasanya berteriak tentang keadilan global kini memilih menunduk. Kementerian Luar Negeri tidak bersuara, Presiden tidak bereaksi, dan ormas-ormas Islam yang gemar berdemo untuk Palestina kali ini tidak berkedip. Media nasional juga tak peduli; seolah genosida di Sudan bukan urusan moral bangsa. Inilah hipokrisi moral Indonesia—berani bersuara saat isu menguntungkan politik domestik, tapi diam ketika korban tak sesuai selera identitas.

Indonesia menuduh Barat munafik terhadap Palestina, tetapi kini Indonesia sendiri lebih munafik terhadap Sudan. Negara ini membela kemanusiaan dengan selektif: lantang bila pelakunya non-Muslim, sunyi bila pelakunya sesama Muslim. Padahal kemanusiaan sejati tidak mengenal label agama. Darah tetap merah, nyawa tetap suci. Diam di hadapan kejahatan berarti berpihak kepada pelaku.

Genosida di Sudan adalah cermin kebusukan global, termasuk kebisuan Indonesia. Pemerintah yang mengaku menjunjung kemanusiaan, tapi tak bersuara ketika umat Islam sendiri menjadi algojo, adalah pemerintah tanpa moral. Rakyat yang bersorak untuk Gaza tapi membisu atas Darfur adalah rakyat yang kehilangan hati nurani. Indonesia boleh terus berbicara tentang perdamaian dunia, tetapi selama diam terhadap Sudan, semua itu hanya omong kosong. Kemanusiaan tanpa keberanian hanyalah kepura-puraan. (Editor)