Oleh: Helga Maria Udam
(Warga Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua)
Pendahuluan
Beberapa bulan terakhir, Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura diliputi suasana cemas. Kasus begal atau pencurian dengan kekerasan kembali marak dan menghantui warga. Cerita tentang pengendara motor yang dihadang di jalan sepi, pejalan kaki yang dirampas barangnya, hingga korban yang meregang nyawa, cepat menyebar dari mulut ke mulut maupun melalui media sosial.
Rasa aman yang selama ini dianggap hal wajar perlahan menghilang. Jalanan yang seharusnya menjadi ruang bebas dan aman, kini dipandang sebagai jalur penuh kewaspadaan. Masyarakat mulai membatasi aktivitas malam, pedagang kecil mengeluh karena sepi pembeli, sementara ojek online lebih cepat berhenti beroperasi. Situasi ini menjadikan isu begal bukan sekadar kabar kriminal, tetapi juga keresahan sosial yang nyata.
Fenomena begal di Jayapura tidak bisa dipandang hanya sebagai kejahatan jalanan biasa. Ia merupakan gejala yang lebih kompleks: lemahnya pengawasan keamanan, rapuhnya kontrol sosial, tekanan ekonomi, hingga terkikisnya nilai budaya. Untuk memahami persoalan ini, perlu ditinjau dari berbagai sisi: keamanan, sosial, ekonomi, hukum, masyarakat, dan budaya. Dari sanalah terlihat bahwa begal adalah persoalan besar yang butuh penyelesaian menyeluruh, bukan sekadar patroli sesaat.
Perspektif Keamanan: Jalan Raya yang Tak Lagi Aman
Dari sisi keamanan, begal adalah ancaman nyata di ruang publik. Modus yang digunakan para pelaku cenderung sama: mereka beraksi pada malam hari, memilih jalan sepi, dan bergerak dalam kelompok kecil. Menggunakan sepeda motor, mereka menghadang korban atau mengejarnya, lalu merampas motor, ponsel, atau barang berharga lainnya. Senjata tajam kerap digunakan untuk menakut-nakuti, bahkan melukai korban.
Di Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, seorang korban bahkan kehilangan nyawa akibat aksi begal. Kapolres Jayapura, AKBP Umar Nasatekay, menegaskan pihaknya tidak akan ragu menindak tegas siapa pun yang terlibat. Patroli malam diperketat, pos polisi diperintahkan siaga penuh, dan aparat diminta tak memberi ruang bagi para pelaku.
Namun, meski langkah itu sudah dilakukan, keresahan masyarakat belum sepenuhnya reda. Jalan raya tetap dipandang berbahaya selepas senja. Banyak orang lebih memilih tinggal di rumah jika tidak ada keperluan mendesak. Aktivitas ekonomi malam pun ikut surut. Pada titik inilah, begal menjadi ujian besar bagi aparat keamanan: apakah mereka benar-benar mampu menjaga rasa aman yang diharapkan warga.
Perspektif Sosial: Gejala Krisis Moral dan Lingkungan
Fenomena begal juga dapat dibaca sebagai cermin krisis sosial. Banyak pelaku yang ditangkap masih berusia muda. Mereka tumbuh dalam keluarga yang kurang pengawasan, terseret pergaulan bebas, serta terpapar gaya hidup konsumtif. Minuman keras, narkoba, dan pengaruh media sosial memperburuk kondisi ini, sehingga anak muda mudah terjerumus pada kekerasan.
Jayapura adalah kota yang sedang berkembang cepat. Urbanisasi membawa banyak pendatang, sementara tuntutan gaya hidup perkotaan semakin tinggi. Lapangan kerja terbatas, pendidikan belum merata, dan ruang bagi anak muda untuk menyalurkan energi secara positif masih minim. Akibatnya, sebagian memilih jalan pintas: merampas barang di jalan dianggap lebih cepat daripada bekerja keras.
Dengan demikian, begal bukan hanya masalah kriminalitas semata. Ia sekaligus tanda adanya kegagalan sosial: keluarga, sekolah, komunitas, hingga pemerintah daerah tidak cukup kuat membimbing generasi muda agar tidak mencari identitas lewat jalan kriminal.
Perspektif Ekonomi: Kemiskinan dan Desakan Hidup
Papua masih menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Harga kebutuhan pokok kerap melambung, sementara lapangan pekerjaan sangat terbatas. Tekanan hidup yang besar membuat sebagian orang mencari cara instan untuk bertahan.
Dalam kondisi ini, kejahatan jalanan menjadi jalan pintas. Motor dan ponsel menjadi target utama karena mudah dijual atau ditukar dengan uang. Pasar gelap dan jaringan penadah barang curian turut memperkuat lingkaran kriminal ini. Selama ada ruang untuk menjual hasil kejahatan, para pelaku akan selalu merasa punya alasan untuk beraksi.
Namun tidak semua pelaku berasal dari keluarga miskin. Ada pula yang didorong oleh gaya hidup konsumtif. Mereka ingin tampil mewah, berpesta, atau mendapat pengakuan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa faktor ekonomi memang penting, tetapi tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan faktor sosial dan budaya dalam melahirkan fenomena begal.
Perspektif Hukum: Pencurian dengan Kekerasan
Dalam KUHP, begal dikategorikan sebagai pencurian dengan kekerasan dengan ancaman hukuman hingga sembilan tahun penjara, bahkan seumur hidup atau hukuman mati bila korban meninggal dunia. Aturan ini menunjukkan betapa serius negara menempatkan kejahatan jalanan.
Namun kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Dalam satu bulan, ada belasan laporan pencurian dengan kekerasan di Jayapura, tetapi hanya sebagian kecil yang berhasil diungkap. Rendahnya angka pengungkapan membuat masyarakat ragu pada efektivitas hukum.
Tidak heran jika banyak warga mendukung kebijakan aparat untuk bertindak lebih keras. Ancaman tembak di tempat dipandang sebagai cara cepat memberi efek jera. Tetapi dari perspektif hukum dan hak asasi manusia, kebijakan ini rawan menimbulkan kontroversi. Ia bisa meredakan ketakutan sesaat, tetapi tidak menyentuh akar masalah yang lebih dalam.
Perspektif Masyarakat: Rasa Takut dan Solidaritas
Bagi warga biasa, begal adalah ketakutan sehari-hari. Banyak pengemudi ojek online lebih cepat menghentikan aktivitasnya. Pedagang malam mengeluh karena sepi pembeli. Orang tua cemas anak-anak pulang larut.
Namun, di balik rasa takut, muncul pula solidaritas. Warga membentuk ronda malam, saling berbagi informasi tentang titik rawan, dan mendesak aparat lebih rutin berpatroli. Media sosial lokal penuh dengan kabar peringatan, meski sebagian ternyata hoaks. Semangat untuk saling menjaga tetap penting dan menunjukkan bahwa masyarakat tidak tinggal diam.
Solidaritas ini menjadi bukti bahwa warga ingin terlibat langsung menjaga lingkungannya. Tetapi sebesar apa pun peran warga, tanggung jawab utama tetap berada di tangan negara. Polisi dan pemerintah tetap harus berdiri di garda depan demi menjamin rasa aman.
Perspektif Budaya dan Generasi Muda
Dalam budaya Papua, solidaritas dan kebersamaan adalah nilai utama. Orang Papua terbiasa berbagi hasil kebun, berburu bersama, dan menjaga sesama. Fenomena begal sejatinya bertentangan dengan nilai luhur itu.
Namun arus modernisasi dan urbanisasi membawa gaya hidup baru. Media sosial menampilkan kemewahan instan, sementara realitas sehari-hari penuh keterbatasan. Tanpa bimbingan keluarga dan komunitas, sebagian generasi muda mencari pengakuan lewat jalan pintas, bahkan kekerasan.
Mencegah begal berarti mengembalikan nilai-nilai kebersamaan yang mulai luntur. Pendidikan karakter, kegiatan olahraga, seni, maupun ruang kreatif lain harus diperkuat. Gereja, sekolah, dan komunitas adat bisa menjadi benteng moral agar anak muda tidak terjerumus ke jalan kriminal.
Upaya Penanggulangan: Dari Reaktif ke Preventif
Selama ini, langkah aparat dan pemerintah cenderung reaktif: patroli malam, penangkapan, hingga ancaman tembak di tempat. Strategi ini memang penting untuk menenangkan situasi jangka pendek. Namun untuk jangka panjang, pendekatan semacam itu tidak cukup.
Akar masalah begal harus disentuh. Pasar gelap barang curian harus diberantas. Tanpa penadah, motivasi pelaku akan berkurang. Di sisi lain, generasi muda harus diberi ruang positif melalui lapangan kerja, pendidikan, dan kegiatan kreatif. Ekonomi keluarga juga perlu diperkuat agar tekanan hidup tidak mendorong kriminalitas.
Pemerintah kota sudah menginstruksikan patroli terpadu bersama aparat keamanan. Ini adalah awal yang baik, tetapi konsistensi lebih penting. Tanpa keberlanjutan, patroli hanya akan menjadi simbol sementara. Dibutuhkan strategi menyeluruh, melibatkan semua pihak, agar masalah begal bisa ditekan secara berkelanjutan.
Penutup
Maraknya begal di Jayapura adalah peringatan keras bahwa rasa aman masyarakat sedang terancam. Ia bukan sekadar tindak kriminal, melainkan cermin masalah sosial, ekonomi, budaya, dan hukum.
Kapolres Jayapura, AKBP Umar Nasatekay, telah menegaskan sikap tegas terhadap para pelaku. Namun ketegasan itu harus dibarengi langkah pencegahan jangka panjang. Begal tidak akan hilang hanya dengan patroli atau tembakan peringatan. Ia baru bisa diberantas jika akar masalahnya disentuh: kemiskinan, pasar gelap, pendidikan, hingga budaya generasi muda.
Yang paling penting adalah nasib rakyat kecil. Mereka hanya ingin bekerja, berdagang, atau pulang ke rumah dengan rasa aman. Jika negara mampu menjamin itu, Jayapura bisa kembali menjadi kota yang nyaman dan manusiawi. Jika tidak, kata “begal” akan terus menjadi bayangan menakutkan di jalan-jalan Jayapura.