Oleh Simon Tabuni, SS, MA
Kandidat Doktor di Department of Linguistics and Philology, Uppsala University, Swedia
BAGAIMANA situasi bahasa-bahasa di Papua saat ini? Kita menjadi saksi mata betapa sebagian besar generasi milenial, Y dan Z di kota-kota dan sebagian kampung hanya mengetahui beberapa kata, frasa, dan kalimat pendek dan tidak mampu mengunakannya dalam percakapan sehari-hari. Ruang-ruang dimana Bahasa Ibu hidup seperti rumah juga perlahan memudar karena tidak dituturkan.
Ada beberapa indikator yang menyebabkan terjadinya peristiwa ini. Menurut penulis, faktor paling utama adalah terputusnya transfer bahasa antar generasi dalam keluarga. Artinya, orang tua tidak lagi berkomunikasi mengunakan bahasa ibu dengan anak mereka.
Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh melting-pot berkumpulnya berbagai macam masyarakat dengan latar belakang budaya berbeda sehingga kecenderungan komunikasi mengunakan bahasa nasional diluar terbawa ke dalam keluarga. Terdapat kecenderungan juga bahwa dalam keluarga bi-cultural parents (bapa dan mama dari suku yang berbeda) bahasa Ibu tidak dituturkan disana. Lebih lanjut, terdapat juga faktor psikologis berupa ketakutan akibat punishment berbicara Bahasa Ibu.
Langkah untuk Pemutarbalikan Situasi
Isu tentang endangerment bahasa pertama kali secara mendalam dikemukakan oleh Michael Kraus dan beberapa linguists pada Endangered Language Symposium yang diselengarakan Linguistic Society of America (LSA) tahun 1992. Satu penekanan penting adalah tantangan kepada institusi pendidikan (universitas) dan dunia professional dalam mendorong penelitian dan membuat prioritas dalam pendidikan terhadap bahasa.
Tantangan tersebut direspon dengan dibukanya program ilmu bahasa (linguistics) spesifikasi pendokumentasian (deskripsi dan revitalisasi/konservasi) bahasa pada perguruan tinggi di United Kingdom (seperti SOAS, University of London), Amerika (Hawai University at Manoa), Australia (Australia National University) dan berbagai Universitas lainnya.
Selain membuka program baru, dibuka juga pelatihan-pelatihan tentang mekanisme pendokumentasian (dan revitalisasi) bahasa seperti Endangered Language Documentation Programme ELDP training, Endangered Language Project di Language Documentation Training Centre ELP-LDTC.
Di samping membuka program pelatihan dan pendokumentasian bahasa, dihadirkan juga beberapa lembaga khusus yang menyediakan pendanaan untuk pendokumentasian bahasa seperti Arcadia fund melalui ELDP, Volkswagen grant lewat DoBes. Di saat bersamaan diciptakan juga tempat penyimpanan digital bahasa (language archive) seperti ELAR, DoBES, Paradisec, yang dapat diakses secara bebas oleh linguists, masyarakat umum, dan pemilik bahasa.
Pada tingkat lokal dan nasional beberapa langkah dilakukan merespon hal ini. Pertama, pendirian Center for Endangered Languages Documentation di Universitas Papua pada tahun 2024 oleh dua orang ahli Bahasa (linguist) yakni Dr Yusuf Sawaki (Australia Nasional University) dan Dr Willem Burung (Oxford University).
Lembaga ini bekerjasama dengan berbagai lembaga internasional dan universitas terbaik di dunia dalam rangka pendokumentasian dan deskripsi bahasa daerah, penyediaan grant penelitian/student project, peningkatan SDM hingga asistensi ahli dalam pengerjaan bahasa daerah.
Pada tingkatan nasional, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan memiliki Balai Besar Bahasa di tingkat daerah di seluruh Indonesia. Lembaga ini melakukan pendokumentasian, penelitian, assessment vitalitas hingga menjalankan program preservasi bahasa daerah.
Setiap tahun masyarakat Internasional dan nasional juga aktif mengkampanyekan pelestarian bahasa-bahasa daerah guna meningkatkan kepeduliaan besama mengenai bahaya kepunahan bahasa (language endangerment).
United Nations General Assembly (UNGA) membuat resolusi bahwa tahun 20219 sebagai tahun perayaan bahasa masyarakat tradisional/adat (International Year of Indigenous Language) di seluruh dunia. Hajatan tersebut bertujuan untuk memobilisasi berbagai macam pemangku kepentingan guna melakukan aksi terkordinasi di seluruh dunia baik itu dalam skala internasional, nasional maupun daerah.
Ada beberapa tema besar yang diangkat dalam perayaan ini. Pertama, menumbuhkan pemahaman, rekonsiliasi dan kerjasama secara internasional. Kedua, menciptakan suasana kondusif untuk sharing dan penyebaran pengetahuan.
Ketiga, mengintegrasikan bahasa ke dalam pengaturan standar (berkaitan dengan sistem orthograpi). Keempat, penguatan lewat peningkatan kapasitas masyarakat indigenous pemilik bahasa. Kelima, menjalankan pertumbuhan dan pembangunan yang hadir lewat lewat elaborasi pengetahuan kekinian.
Penjelasan di atas merupakan deskripsi singkat tentang bagaimana respon masyarakat pecinta bahasa dan ahli bahasa terhadap fakta tentang endangered bahasa di muka bumi. Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia terlebih khusus Papua? Bagaimana respon kita terhadap isu ini? Apakah sejauh ini telah ada upaya konkrit pendokumentasian dan revitalisasi bahasa-bahasa Papua?
Studi tentang bahasa merupakan salah satu bentuk dokumentasi meskipun data-data disimpan dalam bentuk catatan lapangan dan elisitasi. Studi bahasa sudah dimulai sejak misionaris bekerja di atas Tanah Papua. Publikasi dilakukan pertama kali oleh Van Hasselt melalui publikasi Tata Bahasa Mini (Short Grammar) Bahasa Byak tahun 1905.
Tiga tahun kemudian ia mengeluarkan kamus Bahasa Byak (1908). Selain dua Van Hasselt, terdapat juga Van Vallin pada bahasa Wandamen; GJ Held pada bahasa Waropen (1942); GR Reesink pada bahasa-bahasa di Kepala Burung Papua; Broomley dan Van Der Stap pada bahasa-bahasa di Pegunungan Tengah Papua; JG Anceaux pada bahasa-bahasa di Peninsula Bomberai (1958), Keith dan Christine Berry pada bahasa-bahasa di IMEKKO (1987) dan masih banyak lagi rangkaian studi bahasa di Papua hingga saat ini.
Di Papua sudah ada beberapa perguruan tinggi yang membidangi studi dan penelitian tentang bahasa. Selain FKIP Uncen yang cukup lama melakukan studi bahasa lewat penelitian (meskipun bukan minat), pada 2000 didirikan Fakultas Sastra (sekarang Sastra dan Budaya) minat linguistik di Universitas Papua (Unipa).
Melalui hal tersebut, telah banyak studi, entah itu yang oleh mahasiswa dan dosen, bahasa-bahasa secara formal di Papua yang mana membantu membuka horizon berpikir kita mengenai diversitas, sosial, sejarah dan gramar bahasa-bahasa di Papua.
Selain perguruan tinggi, terdapat pula lembaga penelitian yang membidangi pendokumentasian dan preservasi bahasa-bahasa di Papua. Salah satu lembaga pendokumenasian bahasa adalah Centre for Endangered Languages Documentation (CELD) yang berbasis di Unipa. Tidak mengunakan cara tradisional, proses koleksi, analisa (annotasi, transkripsi, dan translation), dan penyimpanan data bahasa mengikuti perkembangan terkini bidang ilmu bahasa.
Beberapa projek dokumentasi bahasa telah atau sedang dilakukan seperti dokumentasi bahasa Iha, Wooi, Yali, Mpur, Lani Barat, Yaben, Kais, dan lain sebagainya. CELD juga menjalin kerjasama dengan beberapa universitas dan peneliti bahasa ternama di dunia. Selain pendokumantasian bahasa, terdapat beberapa lembaga non-pemerintah yang secara tidak langsung bergerak pada bidang preservasi/revitalisasi bahasa.
Lembaga tersebut adalah Lembaga Penerjemaan Alkitab dan SIL yang membantu preservasi bahasa melalui penerjemaan Alkitab kedalam bahasa-bahasa daerah di Papua.
Di atas telah didiskusikan tentang bahasa, diversitas bahasa, situasi endangered bahasa dan penyebabnya, serta beberapa upaya-upaya yang dilakukan guna merespon situasi tersebut. Sayangnya, hemat penulis, gaung situasi endangered bahasa-bahasa Papua kurang berkumandang dibandingkan dengan situasi kepunahan flora dan fauna.
Oleh sebab itu, kita mengharapkan terealitasnya berbagai macam kegiatan bersifat informatif guna membangun kesadaran bersama mengenai situasi bahasa di Papua serta memikirkan langkah konkrit yang musti diambil ke depan guna merespon situasi tersebut.
Langkah konkrit kemungkinan berupa bagaimana mekanisme pendanaan dan kolaborasi berbagai pihak baik lokal, nasional maupun internasional. Lembaga-lembaga pendokumentasian dan revitalisasi bahasa selama ini berjalan tanpa sokongan finansial yang cukup baik mengakibatkan penurunan produktivitas pekerjaan baik di lapangan maupun di kantor.
Kekurangan pendanaan juga berakibat pada terhambatnya upaya pengadaan dan pengembangan buku-buku ajar dalam bahasa daerah serta kamus dan buku tata bahasa guna merealisasikan pembelajaran bahasa secara formal. Ini harus menjadi perhatian bersama.
Langkah konkrit seperti mendorong orang tua untuk menuturkan first language (bahasa pertama) kepada anak/cucu juga mesti dilakukan. Ruang-ruang publik seperti bandara, pasar, kantor, dan lain sebagainya juga wajib mempromosikan bahasa daerah baik itu melalui verbal maupun tulisan.
Bahasa Ibu adalah identitas dan kekayaan sebuah bangsa. Ia merekam berbagai kearifan lokal yang berguna saat ini maupun akan datang. Mari bersama menjaga Bahasa Ibu kita tetap hidup 100 tahun mendatang. (Bagian dua, terakhir)










