Oleh Yosua Noak Douw
Tokoh Muda Gereja di Tanah Papua
ADA kutipan Firman Tuhan yang menggema di seluruh pelosok Tolikara pekan ini: “Waspadalah! Lawanmu Iblis.” Ayat dari 1 Petrus 5:8 itu bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan kebangkitan. Dari mimbar Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Eben Haezar Karubaga, suara rohani itu menggetarkan kembali hati umat, Bahwa Tolikara bukan hanya kabupaten di pegunungan, melainkan benteng rohani bagi Kristus di tanah Papua.
Seminar Okultisme dan Kemah Kebangunan Rohani (KKR) yang diselenggarakan pada Senin-Selasa (20–21), menjadi momentum suci. Di tengah arus modernisasi dan degradasi moral, GIDI kembali menegaskan misi utamanya: memurnikan iman umat Tuhan dari segala bentuk kegelapan: animisme, sinkretisme, dan kuasa okultisme yang masih mengikat sebagian masyarakat.
Kehadiran para tokoh rohani seperti Pendeta Usman Kobak, Pendeta David Enns, Pendeta Keith Wiederwax, dan Boas Panggabean bersama dukungan penuh Pemerintah Daerah Tolikara, menunjukkan satu hal penting: Tolikara berdiri sebagai kota yang dibangun di atas dasar iman, bukan sekadar infrastruktur.
Ketika Terang Kristus Mengusir Kegelapan
Salah satu materi utama yang menggugah hati disampaikan oleh Pendeta Kondabaga, dengan tema Pengaruh Animisme dan Sinkretisme dalam Kekristenan. Materi ini menyingkap kenyataan bahwa banyak orang Kristen di Papua masih hidup dalam bayang-bayang dua dunia: percaya kepada Kristus, tetapi masih takut kepada roh-roh leluhur, jimat, dan dukun.
Itulah sinkretisme —mencampurkan terang dan gelap, iman dan takhayul, Injil dan ritual lama. Dalam Alkitab, Tuhan tidak pernah kompromi dengan kegelapan. “Keluarlah kamu dari antara mereka dan pisahkanlah dirimu,” (2 Korintus 6:17). Firman ini adalah pedang rohani yang memisahkan antara yang kudus dan yang najis, antara terang dan gelap.
Kristus datang bukan hanya untuk mengampuni dosa, tetapi untuk membebaskan manusia dari ketakutan. Karena itu, pelayanan pelepasan yang dipelajari dalam seminar ini bukanlah sensasi spiritual, melainkan tindakan kasih yang mengembalikan manusia kepada kebebasan sejati —hidup dalam terang Kristus.
Di Karubaga, kita saksikan kembali semangat itu menyala. Orang-orang yang dulunya takut berbicara tentang kuasa gelap, kini berani bersaksi tentang kuasa Tuhan. Orang-orang yang terikat oleh warisan roh jahat kini dilepaskan dan dipulihkan. Inilah wajah baru Tolikara —tanah yang tidak lagi diperintah oleh ketakutan, tetapi oleh iman.
Melawan Tipu Daya Iblis di Era Modern
Pendeta Boas Panggabean (SALT Indonesia) dalam sesi penutup menyampaikan, musuh utama kita bukanlah manusia, tetapi iblis yang licik. Ia menyamar sebagai malaikat terang, memakai media, kemajuan teknologi bahkan bentuk pelayanan rohani palsu untuk menipu orang percaya.
Tantangan gereja di abad ke-21 bukan hanya animisme tradisional, tetapi okultisme modern: kebergantungan pada kekuatan supranatural di luar Tuhan, keinginan cepat “sukses rohani,” dan kompromi moral dalam nama kasih. Inilah bentuk baru dari “dukunisasi” zaman digital —ketika orang lebih percaya pada motivator spiritual, jimat digital, atau “hikmat dunia,” daripada kuasa salib Kristus.
Gereja GIDI melalui seminar ini menunjukkan arah yang jelas: kembali ke Firman Tuhan, kembali ke doa, kembali ke kekudusan. Tidak ada kemenangan tanpa peperangan rohani, dan tidak ada peperangan rohani tanpa keintiman dengan Kristus. Karubaga menjadi saksi bahwa kebangunan rohani bukan sekadar pertemuan massa, tetapi pembaruan hati yang melahirkan kesetiaan.
Salah satu aspek paling penting dari kegiatan ini adalah kehadiran jajaran Pemerintah Kabupaten Tolikara —Sekda, para asisten, kepala dinas, dan Bupati Willem Wandik sendiri. Ini bukan hal kecil. Dalam sejarah Papua, jarang sekali kita menyaksikan kolaborasi langsung antara gereja dan pemerintah dalam satu forum rohani dengan pesan teologis yang begitu tegas.
Mengapa Penting
Merespon pertanyaan itu, jawabannya jelas. Pemerintahan tanpa iman akan kehilangan arah moral. Gereja tanpa dukungan kebijakan akan kehilangan daya sosial. Ketika dua institusi ini bersatu —Firman dan tanggung jawab publik— kebangunan rohani tidak berhenti di mimbar, tetapi menembus ruang kerja, sekolah, pasar, dan kampung atau desa.
Tolikara sedang menulis sejarah baru: bahwa pembangunan tidak hanya bicara tentang jalan dan jembatan, tetapi juga tentang pemulihan jiwa. Dalam konteks “Kota Spiritual bagi Kristus,” kini pemerintah daerah berperan sebagai penatalayan iman publik —memastikan nilai-nilai kekristenan menjadi fondasi etika, kejujuran, dan pelayanan publik.
Materi seminar mengingatkan kita bahwa iblis tidak pernah berhenti bekerja. Dulu, ia memakai ketakutan terhadap roh-roh leluhur; sekarang, ia bekerja melalui keserakahan, kebohongan, dan kompromi moral. Keduanya sama-sama mengikat manusia agar menjauh dari kebenaran Injil. Okultisme modern tidak lagi selalu berupa jimat atau mantra, tetapi bisa berupa gaya hidup yang menuhankan materi, status, dan popularitas.
Ketika manusia lebih mencintai dunia daripada Allah, ia telah membuka pintu bagi kuasa kegelapan masuk dalam hatinya. Karena itu, Tolikara tidak hanya berperang melawan dukun dan roh jahat, tetapi juga melawan dosa sosial —korupsi, kebohongan, kemunafikan, kekerasan, dan keserakahan. Peperangan rohani sejati dimulai ketika hati manusia tunduk sepenuhnya di bawah kuasa Kristus.
Tolikara: Dari Lembah Gelap Menuju Kota di Atas Bukit
Dalam Matius 5:14, Yesus berkata, “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas bukit tidak dapat disembunyikan.” Ayat ini kini terasa hidup di Karubaga. Ketika para pemimpin rohani dan pemerintah daerah berdiri bersama menyatakan “Tolikara Kota Spiritual bagi Kristus,” itu bukan sekadar slogan. Ia adalah deklarasi iman bahwa kota ini dipersembahkan bagi Tuhan.
Kebangunan rohani sejati tidak diukur dari banyaknya orang yang jatuh atau menangis dalam ibadah, tetapi dari perubahan perilaku dan sistem hidup masyarakat. Ketika anak-anak Tolikara jujur di sekolah, ketika ASN bekerja dengan takut akan Tuhan, ketika pemimpin melayani dengan kasih, dan ketika gereja berdiri dalam kebenaran —di situlah kebangunan sejati terjadi.
Apa yang terjadi di Karubaga adalah cermin dari apa yang bisa terjadi di seluruh Papua Raya. Ketika Injil pertama kali mendarat di Lembah Baliem tahun 1954, Terang itu mulai menembus gunung dan lembah. Hari ini, melalui GIDI dan Pemerintah Tolikara, Terang itu menyala kembali. Bukan hanya di gereja, tetapi dalam setiap kebijakan, rumah tangga, dan lembaga.
Dunia mungkin melihat Papua sebagai tanah bertabur konflik dan keterbelakangan, tetapi Tuhan melihatnya sebagai tanah kebangunan. Kebangunan itu tidak dimulai dari kota besar, melainkan dari gunung-gunung tempat doa dilambungkan. Karubaga hari ini adalah Yerusalem kecil di pegunungan tengah Papua —tempat di mana api Roh Kudus menyala dan iman umat Tuhan dibangkitkan.
Kebangunan yang Tidak Akan Padam
Seminar Okultisme dan KKR GIDI Eben Haezar Karubaga telah meneguhkan pesan penting: Yesus adalah satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada kuasa gelap yang bisa menandingi nama-Nya. Dan Tolikara telah memilih: bukan menjadi kota yang takut, tetapi kota yang percaya.
Ketika kita bersatu dalam doa, membangun gereja yang murni, dan menjalankan pemerintahan yang takut akan Tuhan, maka Tolikara sungguh-sungguh menjadi Kota Spiritual bagi Kristus. “Sebab Dia yang di dalam kita lebih besar daripada dia yang di dalam dunia” (1 Yohanes 4:4). Kiranya dari Karubaga, terang itu terus menyinari seluruh Papua Pegunungan —dan dari Papua, menyala bagi seluruh Indonesia.