OPINI  

Dari Papua ke Sidang Umum PBB 2025

Willem Bobi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Willem Bobi

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Fisika Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta

DI TANAH tinggi Papua, tempat bintang fajar menjemput pagi tembang kehidupan masyarakat di ufuk timur negeri selalu terdengar di hutan, di bibir sungai hingga di tengah kebun. Gong dipukul suling bambu mendayu, pesta bakar batu menyatukan orang-orang kampung. 

Tawa anak-anak berlarian, suara tifa menggema dan burung Cendrawasih menari di pucuk pohon, bulu emasnya berkilau diterpa cahaya fajar pagi. Tetapi sejak 1970-an, saat gunung besar dibelah paksa oleh mesin tambang, tembang terasa mistis itu mulai hilang. Deru gong dan suling perlahan tenggelam, diganti suara truk tambang, deru mesin eskavator, dan dentum dinamit yang memecah perut gunung Nemangkawi.

Hutan-hutan yang dulu jadi noken kehidupan dipetakan ulang menjadi blok-blok konsesi. Sungai yang jernih kini membawa lumpur, dan di setiap percikannya tersimpan cerita ladang ubi yang hilang. Anak-anak yang dulu diajak bernyanyi kini hanya bisa menatap jalan tambang, menunggu ayah pulang yang tak pernah kembali. “Gunung dibelah, rakyat dibungkam.”

Dari emas di perut bumi Papua, miliaran dolar mengalir ke Jakarta dan New Orleans. Saham perusahaan tambang raksasa melonjak di New York, sementara Muara Sungai Aijkwa hingga danau Sentani perlahan keruh mengental. 

Di laporan tahunan, tertulis: produksi emas tahun ini naik 12 persen. Di balik angka itu, ada tembang sumbang nan pilu —suara tifa dan gong yang digantikan dentum dinamit, dan anak-anak yang kehilangan pelangi.

Tubuh yang Disayat

Papua adalah tubuh. Gunung-gunungnya tulang, sungai-sungainya nadi, dan hutannya kulit. Ketika tambang emas raksasa membuka perut Grasberg di perut Nemangkawi, tubuh Papua seperti pasien yang terus dioperasi tanpa pernah dijahit. Luka demi luka menganga lebar, tak pernah dioles dan dibalut, hanya ditambah sayatan baru.

Setiap dinamit yang meledak adalah pisau bedah yang merobek. Setiap truk tambang yang lewat adalah tabung infus yang menyedot darah emas ke luar negeri. Setiap gram emas yang dicatat di laporan keuangan global adalah satu tetes air mata di noken mama Papua.

Di kampung sekitar tambang, tubuh manusia ikut tersayat. Mama-mama dipaksa mengangkat tangan di depan rumah, anak-anak tidur di hutan dengan nyanyian jangkrik menggantikan doa Bapa Kami. Lelaki yang ditangkap malam hari tak selalu pulang. Kalau pun pulang, hanya tersisa nama tanpa denyut nadi.

Bayangan Cenderawasih yang tak lagi menari, kayu besi yang ditebang tanpa izin leluhur, Sungai Aijkwa, Laut Arafuru hingga Danau Sentani yang makin keruh —semua adalah tanda tubuh besar Papua semakin kehilangan nyawanya. Di pusat keuangan internasional,  keuntungan tambang ditulis dengan tinta tebal; di tanah Papua, luka tubuh itu dibiarkan mengering sendiri.

Noken Air Mata

Noken adalah rahim kedua mama Papua: tempat ubi tumbuh, bayi tidur, doa bersembunyi. Dulu, noken penuh kehidupan. Tapi kini, noken itu lebih sering berisi foto anak yang tak kembali, kain hitam, dan doa yang tak pernah sampai menyentuh langit. Dari pasar ke dusun, dari dusun ke kuburan, mama-mama memanggul noken yang semakin berat, noken air mata.

Di tahun 2000-an, cerita noken mulai berubah: bukan lagi tentang ubi, melainkan tentang kehilangan. Mama bercerita tentang tanah yang diambil paksa, tentang anak yang tidak kembali dari ladang. Dan di tahun 2010-an, noken itu semakin penuh air mata, saat dunia memuji kontribusi tambang Papua pada ekonomi nasional.

Setiap ons emas yang keluar dari perut bumi membawa bayangan noken air mata. Laba Freeport naik, devisa negara bertambah, tetapi mama hanya bisa menjual sayur mayur seadanya, menyelipkan doa lirih di antara cabai dan daun singkong. Di pasar, keuntungan emas itu terdengar bagai ejekan, karena di dalam noken lusuh hanya tersisa kesedihan.

Sidang yang Melupakan

Tibalah tahun 2025, Sidang Umum PBB kembali digelar di New York, gedung kaca berkilau bagai permukaan laut yang tenang. Para presiden dan kepala pemerintahan dari berbagai belahan dunia berpidato lantang tentang perdamaian, resolusi, dan kemerdekaan. Indonesia berdiri gagah, suaranya menggema: “Palestina harus merdeka!” Dunia bertepuk tangan, sorak sorai memenuhi ruangan.

Namun Papua? Nama itu hilang, tenggelam di bawah tepuk tangan nan riuh. Tidak ada nama Nduga, pun Yahukimo, tidak ada Intan Jaya terselip di dalam riuh aplaus peserta sidang. Papua hadir hanya sebagai bayangan, catatan kaki, catatan pinggir, yang tak pernah dibaca.

Seperti kabut di lembah yang tersapu angin sebelum sempat diabadikan, suara Papua lenyap. Hilang entah ke mana, Bahkan suara lantang yang dulu pernah menyala kini padam. Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai yang dulu berteriak untuk Papua, kini duduk diam di kursi empuk di jantung Republik Indonesia. Lidah putra asli tanah Papua kelu. Mulutnya seolah terkunci entah oleh kuasa, entah oleh jabatan.

Sidang itu mencatat kemenangan diplomasi global, tetapi melupakan tembang lokal orang asli Papua yang hilang di ufuk timur, tubuh yang disayat, dan noken penuh air mata. Dunia menyebut Palestina, Ukraina, Sudan, dan lain-lain tetapi Papua kembali terdiam, terjebak kabut duka di ufuk timur negeri, potongan surga yang luruh ke bumi.

Selama dunia bersorak untuk konflik di belahan lain, tetapi diam tentang Papua, maka sidang HAM hanyalah pesta kata tanpa nyawa. Tifa yang retak di lembah Papua tidak pernah terdengar di ruang berlampu kristal PBB.

Papua tidak butuh belas kasihan. Papua menunggu keadilan —keadilan yang hanya mungkin datang bila Indonesia berani jujur, dan dunia berani mendengar. (*)