Ketika Bintang Kejora Mewarnai Seragam Kelulusan Sekolah - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Ketika Bintang Kejora Mewarnai Seragam Kelulusan Sekolah

Ketika Bintang Kejora Mewarnai Seragam Kelulusan Sekolah. Foto: Istimewa

Loading

SETIAP tahun ajaran baru berakhir, di berbagai kota dan pelosok Tanah Papua, kita menyaksikan pemandangan yang berulang: para lulusan SMA, SMK, dan SMP tumpah ke jalan, mengenakan seragam penuh coretan sebagai wujud luapan kegembiraan atas kelulusan mereka. Namun, ada yang khas di Papua. Di tengah euforia itu, muncul coretan-coretan bergambar Bendera Bintang Kejora, bahkan pengibaran benderanya dalam pawai kelulusan. Fenomena ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak asli Papua, tetapi juga oleh anak-anak non-Papua yang lahir dan besar di Papua. Fenomena ini kembali terjadi tahun ini, dan seperti biasa, berujung pada penindakan dari aparat.

Apakah ini hanya ekspresi kebetulan semata? Atau justru mengandung makna yang lebih dalam? Apakah kita sedang menyaksikan tumbuhnya bentuk lain dari nasionalisme?

Fenomena ini tidak bisa sekadar dilihat sebagai tindakan iseng remaja. Bendera Bintang Kejora bukan simbol kosong; ia menyimpan sejarah panjang, luka, harapan, dan identitas kolektif orang Papua. Ketika remaja mencoretkan simbol ini di seragam mereka saat momen perpisahan, itu bukan semata-mata hiasan. Ia adalah simbol emosi, keterikatan, bahkan mungkin kebanggaan terhadap tanah kelahiran mereka.

Yang menarik, tidak sedikit dari para pelaku adalah anak-anak non-Papua—anak transmigran atau pendatang yang lahir dan tumbuh besar di Papua. Mengapa mereka juga menggambar Bintang Kejora? Ini adalah sinyal kuat bahwa bagi mereka, Papua bukan sekadar tempat tinggal, tapi adalah rumah. Mereka menyerap identitas lokal dan mengekspresikannya dengan cara yang sama dengan teman-teman sebaya mereka yang asli Papua. Ini adalah bentuk nasionalisme lokal—rasa memiliki terhadap Papua, tanah tempat mereka dibesarkan, sekalipun identitas kultural mereka berbeda.

Sayangnya, negara terlalu cepat menyikapi ini sebagai ancaman. Alih-alih mendengar, negara justru memadamkan. Padahal, ini bisa jadi titik masuk untuk memahami generasi muda Papua—mereka tidak sedang memberontak, tapi sedang mencari cara untuk menyatakan cinta dan keterikatan kepada tanah mereka. Negara semestinya hadir dengan empati, bukan dengan kekuatan.

Editorial ini bukan ajakan untuk menjustifikasi pelanggaran hukum, tetapi seruan untuk memahami akar fenomena. Ketimbang mempersoalkan ekspresi remaja sebagai masalah keamanan, tidakkah lebih bijak jika kita memaknainya sebagai pesan: bahwa nasionalisme di Papua tidak tunggal? Ada nasionalisme Indonesia, tetapi ada juga nasionalisme Papua—dan keduanya bisa bertumbuh berdampingan, selama negara mampu melihat dengan mata yang lebih arif dan hati yang lebih terbuka. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :