KEGAGALAN pemerintah dalam mengelola negara telah meledak ke jalanan. Sejak Kamis, 28 Agustus 2025, ribuan rakyat turun ke berbagai kota, melampiaskan kemarahan yang sudah lama dipendam. Demonstrasi meluas, sebagian berujung kerusuhan. Namun alih-alih mengakui kelemahan dan memperbaiki kesalahan, pemerintah justru sibuk mengulang narasi basi: mencari “dalang”. Seolah-olah semua kemarahan rakyat hanyalah permainan aktor di balik layar. Padahal, dalang sebenarnya bukan di jalanan, tetapi ada di kursi kekuasaan itu sendiri.
Rakyat tidak perlu provokator untuk marah. Hidup yang kian berat, harga-harga yang melambung, korupsi yang merajalela, hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, aparat yang represif, serta kebijakan publik yang jauh dari rasa adil—semua itu cukup menjadi bahan bakar ledakan sosial. Ketika penderitaan begitu nyata, rakyat hanya butuh satu pemicu kecil untuk turun ke jalan. Jadi, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab? Jawabannya jelas: pemerintah yang gagal memenuhi janji dan tanggung jawabnya.
Setiap kali krisis sosial meledak, refleks kekuasaan selalu sama: menuding orang lain. Seperti rumah yang terus kebanjiran, pemiliknya menyalahkan tetangga alih-alih memperbaiki atap bocor. Pola menyalahkan orang lain ini bukan hanya dangkal, tapi juga berbahaya. Ia menjauhkan pemerintah dari akuntabilitas, menutup ruang evaluasi diri, dan merusak kepercayaan rakyat. Negara yang sibuk mencari kambing hitam adalah negara yang kehilangan keberanian untuk bercermin.
Pemerintah harus mengingat bahwa dalam demokrasi, rakyat bukan musuh, melainkan pemilik kedaulatan. Demonstrasi bukan kejahatan, tetapi jeritan yang lahir dari luka panjang. Dengan terus memburu “dalang”, pemerintah justru memperlihatkan ketidakmampuannya sendiri. Yang dibutuhkan rakyat bukan tudingan, melainkan perbaikan nyata: kebijakan yang adil, pelayanan publik yang bermutu, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan keberanian untuk berpihak pada kepentingan rakyat, bukan elite.
Rakyat Indonesia bukan boneka yang bisa digerakkan semaunya. Mereka adalah manusia yang sehari-hari dihantam tekanan ekonomi dan sosial. Jika suara mereka terus dibungkam dan selalu dianggap ulah provokator, jurang antara negara dan rakyat akan semakin lebar. Itu bukan sekadar ancaman politik, tetapi ancaman eksistensial bagi republik ini.
Karena itu, sudah saatnya pemerintah berhenti mencari dalang. Berhentilah menipu diri dengan narasi usang. Mulailah bercermin. Perbaiki kesalahan, benahi kebijakan, dan pulihkan kepercayaan rakyat. Tanpa itu, gelombang protes akan terus datang, lebih besar, lebih keras, dan lebih sulit dikendalikan. Dan pada titik itu, bukan rakyat yang harus disalahkan, melainkan pemerintah yang menolak bercermin pada dirinya sendiri. (Editor)