PEMERINTAH Indonesia hingga hari ini masih menjadikan penjara sebagai jawaban atas aspirasi politik rakyat Papua. Puluhan tahanan politik Papua (tapol Papua) masih mendekam di balik jeruji besi hanya karena berani menyuarakan pilihan politik mereka: hak untuk merdeka.
Mereka ditangkap, diadili, dan dihukum seakan-akan sebuah bangsa bisa dipaksa tunduk hanya dengan borgol dan sel tahanan. Padahal sejarah dunia berulang kali membuktikan bahwa pemenjaraan tidak pernah berhasil memadamkan api perjuangan sebuah bangsa yang merasa ditindas. Dari Afrika Selatan hingga Timor Leste, semakin keras represi dijalankan, semakin kokoh pula semangat perlawanan yang tumbuh di tengah rakyat.
Nama-nama tapol Papua kini menjadi simbol keberanian. Di Sorong, ada Abraham Goram Gaman, Nikson Mau, Piter Robaha, dan Maksi Sangkek dari organisasi NRFPB. Proses persidangan mereka bahkan dipindahkan ke Makassar, jauh dari keluarga dan tanah kelahiran, sebagai bentuk kriminalisasi politik yang nyata.
Di Yahukimo, terdapat Anius Payage dan Yoel Heluka yang divonis masing-masing 12 dan 10 tahun. Hukuman berat ini dijatuhkan bukan karena mereka merugikan orang lain, melainkan karena mereka dianggap mengganggu stabilitas negara dengan suara politiknya.
Di Fakfak, keluarga Kramandondo—Ferdinandus, Alex, Yohanes, Hariyanto Iba, Vridolin Petrus Yoris, dan Alexander—dijatuhi hukuman antara 18 bulan hingga 7 tahun. Fakta bahwa satu keluarga bisa dipenjara bersama-sama menunjukkan betapa luas dan menyakitkannya dampak kriminalisasi aspirasi politik Papua.
Di Nabire, Junius Waker dijatuhi 4 tahun penjara, sementara Anan Nawipa harus menjalani 10 tahun hukuman. Bahkan, seorang tapol bernama Fatem Gelek menerima vonis hukuman mati. Ini adalah putusan paling berat dan paling mengejutkan dalam sejarah peradilan politik di Papua, sekaligus mencerminkan betapa negara lebih memilih kekerasan hukum dibanding jalan dialog.
Semua nama ini menambah deretan panjang tapol Papua. Sebelumnya ada Victor Yeimo yang akhirnya bebas pada 2023, kelompok “Balikpapan 7” yang dipenjara usai unjuk rasa antirasisme 2019, serta almarhum Filep Karma yang menjadi ikon perlawanan hingga akhir hayatnya. Setiap nama adalah saksi bahwa penjara tidak pernah menghentikan aspirasi. Justru, setiap vonis menjadi bahan bakar baru bagi semangat perjuangan di mata rakyat Papua.
Para tapol Papua bukanlah kriminal. Mereka tidak mencuri, merampok, atau menipu rakyat kecil. Mereka hanya bersuara, menyampaikan aspirasi politik yang lahir dari pengalaman sejarah dan luka kolektif yang belum pernah disembuhkan. Memasukkan mereka ke penjara sama saja menutup pintu dialog dan menolak rekonsiliasi.
Jika aspirasi itu dianggap ancaman, maka negara sedang menunjukkan ketidakmampuannya berdialog dengan warganya sendiri. Penjara hanyalah alat bisu untuk menutup mulut, padahal ide dan gagasan tidak pernah bisa dipenjara. Semakin banyak orang Papua ditahan, semakin luas pula solidaritas, simpati, dan perhatian yang lahir, baik dari sesama rakyat Indonesia maupun dunia internasional.
Pemerintah Indonesia harus sadar. Papua tidak bisa ditangani dengan pendekatan keamanan semata. Aspirasi politik tidak akan pernah bisa dibungkam dengan vonis pidana. Jalan yang benar hanyalah dialog yang tulus, kesediaan untuk mendengar, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia.
Membebaskan tapol Papua adalah langkah awal yang penting. Itu bukan hanya gestur kemanusiaan, tetapi juga sinyal politik bahwa negara mau membuka ruang dialog yang sejati. Tanpa langkah ini, kepercayaan rakyat Papua kepada negara akan terus terkikis dan semakin sulit diperbaiki.
Membebaskan tapol Papua juga merupakan kebutuhan politik. Negara tidak akan kehilangan wibawa dengan langkah humanis ini. Sebaliknya, wibawa Indonesia akan meningkat di mata rakyat Papua maupun komunitas internasional, karena berani menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan kekuasaan.
Saatnya pemerintah berhenti menjadikan penjara sebagai jawaban. Karena penjara tidak akan pernah menghentikan aspirasi kemerdekaan Papua. Sebaliknya, penjara hanya akan membuat suara itu semakin nyaring, semakin lantang, dan semakin mustahil dipadamkan. (Editor)