DI TANAH Papua, ada satu penyakit lama yang tak kunjung sembuh dalam tubuh media massa dan sebagian jurnalisnya: menyembah kekuasaan. Bukan dalam arti simbolik, tetapi dalam praktik sehari-hari yang nyata. Kekuasaan dipuja ketika dekat, dikritik ketika menjauh. Ukurannya bukan kebenaran, bukan kepentingan publik, melainkan jarak dompet dan akses. Selama penguasa masih memberi iklan, proyek liputan, amplop, atau undangan perjalanan, mereka dielu-elukan bak pahlawan. Begitu keran itu ditutup, kritik mendadak bermunculan, seolah-olah nurani baru saja lahir.
Fenomena ini bukan rahasia. Ia hidup terang-terangan. Banyak media di Papua tak lagi berfungsi sebagai penjaga demokrasi, melainkan sebagai humas kekuasaan. Judul-judul berita penuh pujian, foto-foto senyum pejabat bertebaran, sementara penderitaan rakyat disingkirkan ke sudut gelap. Media berubah menjadi etalase kekuasaan, bukan cermin kenyataan. Dalam situasi seperti ini, jurnalisme mati pelan-pelan, digantikan oleh transaksi yang dibungkus dengan bahasa profesional.
Yang lebih memalukan, ketika penguasa yang sama—yang kemarin dipuji tanpa reserve—tak lagi memberi ruang atau keuntungan, media dan jurnalis itu tiba-tiba menjadi “kritis”. Kritik pun muncul bukan karena kesadaran etis, melainkan karena sakit hati. Nada beritanya bukan untuk membela rakyat, tetapi untuk membalas dendam. Ini bukan keberanian, melainkan oportunisme murahan. Kritik yang lahir dari kehilangan akses bukanlah kritik yang bermartabat.
Akibatnya fatal. Publik Papua kehilangan kepercayaan pada media. Rakyat tidak lagi melihat media sebagai suara mereka, melainkan sebagai bagian dari lingkaran elite yang saling menjilat dan saling menjatuhkan. Media yang seharusnya menjadi ruang kontrol justru menjadi bagian dari masalah. Ketika kebenaran diperdagangkan, kebohongan menjadi komoditas, dan rakyat kembali menjadi korban.
Alasan klasik selalu sama: “kami juga harus hidup”. Ya, jurnalis memang harus makan. Media memang harus membayar gaji. Tetapi menjadikan kekuasaan sebagai Tuhan penentu nafkah adalah pengkhianatan terhadap profesi. Jurnalisme tidak pernah menjanjikan kenyamanan. Sejak awal, ia menuntut keberanian, integritas, dan kesetiaan pada kebenaran—bukan pada pejabat atau pengusaha. Jika alasan perut dipakai untuk membenarkan sujud pada kekuasaan, maka lebih jujur menyebut diri sebagai broker informasi, bukan jurnalis.
Papua tidak kekurangan masalah. Kekerasan, kemiskinan, pengungsian, perampasan tanah, dan ketidakadilan struktural adalah kenyataan sehari-hari. Tetapi semua itu sering tenggelam oleh berita-berita pesanan yang memutihkan wajah penguasa. Media yang seperti ini bukan hanya gagal, tetapi berbahaya. Ia memperpanjang penderitaan dengan cara membungkam fakta.
Sudah waktunya media dan jurnalis Papua bercermin. Berhentilah memuji karena dekat, berhentilah mengkritik karena sakit hati. Mulailah menulis karena kebenaran, sejak awal dan sampai akhir. Jika tidak sanggup, setidaknya jujurlah pada publik: bahwa yang sedang dijalankan bukan jurnalisme, melainkan dagang pengaruh. Papua pantas mendapatkan media yang berdiri tegak, bukan yang bersujud setiap kali kekuasaan lewat. (Editor)










