DUNIA membutuhkan musuh bersama yang jelas, nyata, dan tak terbantahkan. ISIS adalah musuh itu. Bukan hanya bagi Amerika Serikat, Turkiye, Suriah, Nigeria, atau kawasan tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. ISIS bukan sekadar organisasi teror bersenjata; ia adalah ideologi kematian yang memanipulasi agama, mencatut nama nabi, dan menodai Tuhan demi membenarkan pembunuhan massal. Karena itu, langkah-langkah militer dan keamanan di akhir 2025 harus dibaca sebagai panggilan global: inilah saatnya dunia bersatu untuk mengutuk dan menghancurkan ISIS sampai ke akarnya.
Data terbaru memperlihatkan eskalasi ancaman yang tak bisa disepelekan. Setelah serangan ISIS di sekitar Palmyra, Provinsi Homs, pada 13 Desember 2025 yang menewaskan dua tentara Amerika Serikat dan seorang penerjemah lokal, AS melancarkan serangan udara presisi pada 19 Desember 2025 di Homs, Raqqa, dan Deir ez-Zor. Operasi ini menargetkan pusat komando, jalur logistik, dan sel aktif ISIS. Suriah pun bergerak pada 24–25 Desember 2025, menangkap pemimpin senior ISIS Abu Omar Tibiya (Taha al-Zoubi) di sekitar Damaskus, serta menewaskan tokoh ISIS lain. Turkiye, pada 25 Desember 2025, menggulung jaringan ISIS di Istanbul dan provinsi lain dengan menangkap lebih dari 110 tersangka yang diduga merencanakan serangan Natal dan Tahun Baru. Semua ini menegaskan satu hal: ISIS masih hidup, terorganisasi, dan siap membunuh.
Namun ancaman ISIS tidak berhenti di Timur Tengah. Di Nigeria, teror ISIS telah mengambil wajah paling brutal. Afiliasi ISIS, Islamic State West Africa Province (ISWAP), bersama jaringan ekstremis lain, selama bertahun-tahun melakukan pembantaian sistematis terhadap warga sipil, khususnya umat Kristen di Nigeria utara dan timur laut. Dalam satu dekade terakhir, ribuan umat Kristen dibunuh, puluhan ribu rumah ibadah dan permukiman dihancurkan, dan jutaan orang dipaksa mengungsi. Desa-desa di Borno, Yobe, Adamawa, hingga Sokoto menjadi saksi kekejaman: pembunuhan massal, penculikan, dan pemaksaan keyakinan dengan senjata. Pada 25 Desember 2025, Amerika Serikat melalui AFRICOM melakukan serangan terhadap afiliasi ISIS di Sokoto, menandai pengakuan global bahwa tragedi Nigeria adalah bagian dari ancaman ISIS yang sama—bukan konflik lokal semata.
Di titik ini, dunia tak boleh terpecah oleh perbedaan politik atau agama. ISIS harus ditempatkan sebagai musuh bersama umat manusia. Mengutuk ISIS bukanlah sikap antiagama; justru sebaliknya, ini adalah pembelaan terhadap martabat agama dan nilai kemanusiaan. Mayoritas umat Islam di dunia adalah korban—bukan pelaku—teror ISIS. Umat Kristen, Yazidi, dan kelompok minoritas lain telah menanggung penderitaan luar biasa. Karena itu, diam atau ragu sama dengan membiarkan kebiadaban berlanjut.
Yang dibutuhkan adalah gerakan global yang tegas dan berkelanjutan: tekanan militer berbasis intelijen lintas negara; penegakan hukum internasional untuk memutus pendanaan, rekrutmen, dan propaganda digital; serta konsensus moral global—dari negara, organisasi internasional, hingga pemuka agama—untuk mengutuk ISIS tanpa syarat. Dunia harus satu suara: tidak ada tempat bagi teror atas nama Tuhan.
Momentum sudah ada, datanya jelas, dan korbannya nyata. Sekarang saatnya menghancurkan ISIS—sebagai musuh bersama umat manusia—demi melindungi kehidupan, memulihkan martabat agama, dan memastikan masa depan yang aman bagi semua. (Editor)










