Perihal Rencana Membuka Sawit di Papua, Pemerintah Harus Peka Atas Penolakan Warga

Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Timika tahun 2022-2024 Mersi Sundung. Foto: Istimewa

TIMIKA, ODIYAIWUU.com — Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto harus mempertimbangkan serius rencana membuka kepala sawit di tanah Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda nasional negara menuju swasembada energi.

Begitu pula jajaran pemerintah daerah, baik gubernur, bupati, dan walikota di tanah Papua mesti peka merespon aspirasi penolakan warga masyarakat adat atas rencana membuka sawit. Hutan Papua adalah benteng terakhir kelangsungan hidup-mati ekonomi warga bumi Cenderawasih, terutama masyarakat adat.

“Orang Papua terbiasa hidup dari lahan dan hasil hutan hujan tropis mereka seperti sagu, umbi-umbian, sayur-mayur demi merawat kedaulatan pangan,” ujar Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Timika tahun 2022-2024 Mersi Sundung di Timika, kota Kabupaten Mimika, Papua Tengah.

Mersi, perempuan aktivis dan pegiat sosial, menegaskan, dari lahan dan hutan Papua yang melimpah, masyarakat dengan mudah memperoleh material yang menjadi bahan obat-obat tradisional yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Hutan juga tempat menyimpan tempat keramat yang diyakini menjadi sumber nilai-nilai kearifan lokal dan budaya setempat.

“Kalau pemerintah nekat mendorong sawit atas nama dan demi swasembada energi malah menjebak masyarakat dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan akibat lahan dan hutannya tergerus akibat kehadiran industri kepala sawit yang rakus air. Sawit bukan penopang hidup orang Papua,” kata Mersi.

Oleh karena itu, lanjut Mersi, pemerintah pusat dan daerah harus mendengarkan aspirasi dari masyarakat yang punya hak ulayat atas hutannya, termasuk penolakan. Hutan tropis Papua diakui Mersi adalah harapan terakhir penjaga kelangsungan habitat asli aneka satwa dilindungi sekalius paru-paru dunia.

“Orang Papua hidup dari alam. Jika negara melalui tangan kekuasaan datang merusaknya mereka dengan membuka lahan sawit, secara tidak langsung dan perlahan-lahan membunuh manusia dan penghuni di atasnya. Alam adalah sumber dan gerbang terakhir harapan hidup orang Papua,” ujar Mersi.

Mersi menegaskan, negara tidak boleh serta merta menggolkan rencana membuka kepala sawit di Papua atas nama memenuhi ambisi ekonomi, tetapi di saat bersamaan alpa memikirkan nasib manusia di atasnya.

“Papua bukan tanah kosong tanpa tuan, Presiden Prabowo beserta jajaran pemerintah mulai dari pusat hingga daerah tidak boleh gegabah dalam membuat keputusan yang berujung masyarakat adat kehilangan sumber kehidupan mereka. Presiden jangan membawa petaka baru di tanah Papua,” ujar Mersi.

Selain itu, kata Mersi, negara tunduk atau harus mengakui hak ulayat masyarakat adat di Papua. Negara juga harus sungguh-sungguh mengakui bahwa orang Papua selaku pemilik hutan masih hidup di atas hutannya yang juga akan menjadi warisan bagi generasinya di masa akan datang.

“Pemerintah pusat jangan menjadikan Papua sebagai lahan bisnis untuk keuntungan korporasi jumbo yang berkonspirasi dengan kelompok kapitalis global demi menopang pundi ekonomi nasional tapi mengorbankan hutan hujan tropis di atas tanah Papua. Karena itu, gelombang penolakan masyarakat atas rencana pemerintah membuka kelapa sawit adalah pelajaran penting,” katanya.

Saat ini, kata Mersi, Papua sudah memiliki tambang emas yang bukan hanya menopang perekonomian nasional tetapi juga masyarakat global. Nah, tambang mesti dikelola dengan baik dengan mempertimbangkan kesejahteraan orang asli Papua dan masyarakat yang hidup di atas tanah itu.

“Hemat saya saat ini tambang sudah cukup menghidupi masyarakat Papua tanpa harus digandakan dengan kelapa sawit. Saat ini yang urgen mendapat perhatian dan kehadiran pemerintah soal konflik yang tak kunjung berakhir. Presiden seharusnya lebih peka menyelesaikan masalah konflik disertai gelombang pengungsian, bukan memikirkan kelapa sawit yang dikhawatirkan melahirkan nestapa berkepanjangan,” ujar Mersi. (*)