PADA masa kampanye Pemilihan Presiden 2024, Prabowo Subianto—saat itu masih berstatus calon presiden—menyampaikan janji akan “menyelesaikan persoalan hak asasi manusia (HAM) di Papua secara mendasar dan menyeluruh.” Janji ini disampaikan dalam berbagai forum publik sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024, termasuk debat calon presiden dan pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua. Bagi rakyat Papua, pernyataan tersebut menghadirkan harapan bahwa negara akhirnya akan menempatkan kemanusiaan dan keadilan sebagai fondasi utama kebijakan.
Namun setelah pelantikan Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024 di Jakarta, janji itu belum menemukan realisasi yang jelas. Hingga kini, tidak terlihat kebijakan yang komprehensif dan transparan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Pendekatan keamanan masih mendominasi, kasus-kasus lama belum diungkap secara tuntas, dan dialog bermartabat dengan korban serta masyarakat adat belum menjadi arus utama kebijakan negara. Harapan akan penyelesaian mendasar perlahan berubah menjadi kekecewaan.
Kontradiksi kebijakan itu semakin nyata ketika Presiden menggelar pertemuan dengan para kepala daerah se-TanahPapua pada 16 Desember 2025 di Jakarta, yang berlangsung di Istana Kepresidenan. Dalam pertemuan resmi tersebut, Presiden menyampaikan gagasan bahwa “Papua harus ditanami kelapa sawit” sebagai bagian dari strategi ketahanan energi nasional, termasuk untuk mendukung produksi biofuel. Pernyataan ini segera memicu kritik luas dari organisasi masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan kelompok masyarakat adat.
Waktu dan tempat pernyataan tersebut tidak bisa diabaikan. Pada 16 Desember 2025, di pusat pengambilan keputusan tertinggi negara, persoalan HAM di Papua masih belum diselesaikan. Konflik bersenjata masih berlangsung di sejumlah wilayah, pengungsian warga sipil terus terjadi, dan rasa aman belum sepenuhnya dirasakan masyarakat. Dalam situasi seperti ini, negara justru berbicara tentang ekspansi komoditas, bukan pemulihan kemanusiaan. Ini menunjukkan masalah serius dalam penentuan prioritas kebijakan.
Papua bukan tanah kosong yang menunggu diolah. Papua adalah ruang hidup masyarakat adat, dengan relasi yang kuat antara manusia, tanah, hutan, dan identitas. Pengalaman di berbagai daerah Indonesia memperlihatkan bahwa ekspansi sawit kerap melahirkan konflik agraria, perampasan tanah adat, dan kerusakan lingkungan. Membawa agenda sawit ke Papua tanpa penyelesaian HAM berarti membuka jalan bagi konflik baru di atas luka lama yang belum sembuh.
Masalah utama Papua bukan kekurangan komoditas, melainkan krisis keadilan dan kepercayaan. Janji penyelesaian HAM yang disampaikan sebelum 20 Oktober 2024 kini berhadapan langsung dengan agenda ekonomi yang diumumkan pada 16 Desember 2025 di Istana Kepresidenan Jakarta. Ini bukan sekadar pergeseran prioritas, melainkan pengingkaran politik terhadap janji kemanusiaan yang pernah diucapkan di hadapan publik.
Penolakan terhadap pembangunan bukanlah inti persoalan. Yang dipersoalkan adalah arah dan dasar moral pembangunan itu sendiri. Pembangunan yang mengabaikan HAM bukan pembangunan, melainkan reproduksi ketidakadilan dalam bentuk baru. Selama negara memilih membicarakan sawit sebelum menyelesaikan keadilan, maka pesan yang diterima rakyat Papua sangat jelas: ekonomi lebih penting daripada nyawa, investasi lebih bernilai daripada martabat manusia. Jika pola ini terus dipertahankan, maka negara tidak hanya gagal menepati janji, tetapi juga sedang menanam benih konflik yang kelak akan dipanen bersama sawit itu sendiri. (Editor)










