Ribuan Warga Demo di Intan Jaya Desak Presiden Prabowo Tarik Militer Non Organik di Tanah Papua

Ribuan warga masyarakat dari berbagai elemen saat menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Intan Jaya, Bilogai, Distrik (Kecamatan) Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, Selasa (28/10). Foto: Istimewa

Loading

BILOGAI, ODIYAIWUU.com — Ribuan warga masyarakat dari berbagai elemen, Selasa (28/10) menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Intan Jaya, Bilogai, Distrik (Kecamatan) Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah.

Ribuan mass aitu berunjuk rasa guna menyampaikan kekesalan menyusul tingginya konflik kekerasan yang melibatkan aparat TNI-Polri dan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) dalam lima tahun terakhir. Konflik tersebut berujung tewasnya warga sipil, aparat keamanan, dan warga sipil yang dilabeli anggota OPM.

Konflik tersebut juga mengakibatkan ribuan warga Intan Jaya melarikan diri ke hutan atau ke beberapa kabupaten tetangga di Papua Tengah dan provinsi lainnya di tanah Papua. Tak hanya itu, aktivitas kantor pemerintahan di distrik maupun kampung (desa) hingga sekolah-sekolah nyaris lumpuh total.

“Intan Jaya menangis dan Soanggama berdarah. Konflik ini terjadi karena ada hubungan erat dengan kepentingan tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya,” ujar Koordinator Lapangan (Korlap) Umum Massa Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara Bagau dan Wakil Korlap Sondegau melalui keterangan tertulis dari Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Selasa (28/10).

Bagau dan Sondegau menegaskan, negara melalui aparat keamanan habis-habisan mempertahankan Intan Jaya menjadi status quo dan berusaha mengusir masyarakat dari kampung halamannya untuk kepentingan tambang Blok Wabu.

“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menarik anggota militer non organik yang tengah melakukan operasi di Intan Jaya dan seluruh tanah Papua. Kasus terakhir yang memilukan terjadi di Kampung Soanggama, Distrik Hitadipa, Rabu (15/10) menewaskan 11 warga sipil dan 5 anggota TPNPB,” kata Bagau dan Sondegau.

Bagau dan Sondegau juga menguraikan kronologis pembunuhan terhadap warga sipil berdasarkan testimoni saksi yang enggan menyebut namanya saat berada di tempat kejadian perkara.

Sehari sebelum kasus Soanggama Berdarah sekitar pukul 16.00 WIT ada beberapa anggota TPNPB sempat mampir di rumahnya untuk minum kopi. Namun, saat itu hujan mengguyur deras Soanggama sehinga beberapa dari mereka menginap di rumah warga.

Namun, tak disangka pada Rabu (15/10) sekitar pukul 16:00 WIT ada operasi dan penyisiran Satuan Detasemen 1 dan 4 Satgas Rajawali II Yonif 500/S dan Yonif 712/WT di Kampung Soanggama. Sekitar jam 17:00 WIT Satuan Detasemen Yonif berpencar ke setiap honai untuk memaksa seluruh masyarakat keluar dan mengumpulkan di halaman Gereja Katolik Soanggama.

“Enam anggota TNI mulai melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat setempat. Masyarakat yang identik dengan busana ciri khas bulu kasuari, rambut gimbal atau rambut panjang, mengenakan topi noken kepala dipisahkan menjadi satu kelompok dan dibiarkan berada di luar gereja,” katanya.

Sedangkan masyarakat yang terlihat rapi, lanjut Bagau dan Sondegau, dipisahkan menjadi satu kelompok kemudian disuruh masuk ruangan gereja Katolik, terpisah dari mereka yang berada di luar gereja.

Sekitar pukul 18.00 WIT kelompok yang berada di luar gereja mulai diintrogasi dengan melihat kecocokan foto yang ada di handphone aparat keamanan. Wajah yang mencurigakan tanpa melihat kebenaran apakah warga sipil atau TPNPB dieksekusi mati dengan ditembak tak jauh dari gereja lalu dikuburkan secara tidak manusiawi dalam satu liang lahat.

“Di saat itu kelompok masyarakat yang ada di dalam gereja diintimidasi dan tidak diizinkan keluar. Bahkan mereka yang hendak merokokpun disuruh merokok dalam ruangan gereja,” katanya.

Saat itu ada seorang ibu hamil dari kampung tetangga hendak menuju Kampung Soanggama. Saat itu, ia mendengar rentetan bunyi tembakan. Si ibu hamil ini takut, panik, dan trauma lalu lari menyelamatkan diri dengan menyeberang kali, sungai. Namun, ajal menjemputnya karena tubuhnya terhanyut air.

Menurut Bagau dan Sondegau, identitas warga sipil korban Soanggama Berdarah yaitu Yanuarius Mirip (warga Ilaga), Pisen Kogoya, Sepi Lawiya, Agus Kogoya, Impinus Tabuni, Agopani Holombau, Winina Mirip (ibu hamil), Sakaria Kogoya, dan Kayus Lawiya. Sedangkan dari TPNPB yaitu Kaus Lawiya, Roni Lawiya, Ipe Kogoya, Poli Kogoya, dan satu yang belum diketahui identitasnya.

Bagau dan Sondegau mengatakan, Soanggama Berdarah menambah deretan kasus konflik kekerasan yang melanda Intan Jaya sejak tahun 2019. Misalnya, pembunuhan Pendeta Jeremias Zanambani pada 19 September 2020, pembunuhan tokoh agama atau pewarta Rupinus Tigau di Kampung Jalae, dan pembunuhan warga sipil tahun 2021.

Kemudian, kasus penembakan membabi buta yang menyebabkan 2 anak SD harus meninggal di rumahnya, Yokatapa, tahun 2022, pembunuhan satu keluarga di Kampung Joparu tahun 2023, dan pembunuhan mama Hetina Mirip, yang diduga jadi korban operasi militer Satuan Tugas Habema di Distrik Sugapa, Rabu (14/5) dini hari.

Selain itu, kasus terakhir yaitu pembunuhan 16 warga sipil yang terus membekas dalam memori kolektif dengan insiden Soanggama Berdarah. Meski demikian, katanya, setiap hari masih berbagai peristiwa pelangaran HAM yang menimpa warga sipil tetapi luput dari pemberitaan media massa.

Saat unjuk rasa pihak Massa Forum Rakyat Bergerak dan Bersuara menyampaikan sepuluh pernyataan sikap kepada Pemerintah Indonesia. Pertama, segera mengusut tuntas kasus Soanggama Berdarah. Kedua, Presiden Prabowo Subianto segera menarik militer non organik yang tengah melakukan operasi di Intan Jaya dan seluruh tanah Papua.

Ketiga, segera selenggarakan investigasi independen atas kasus Soanggama Berdarah. Keempat, hentikan praktek militerisasi yang digunakan untuk kepentingan korporasi ekstratif. Kelima, mengencam keras tindakan MRP yang gagal menjalankan fungsi perlindungan masyarakat adat.

Keenam, menolak eksploitasi tambang di wilayah Intan Jaya. Ketujuh, menyatakan pembunuhan warga sipil di soanggama sebagai pelanggaran ham berat yang harus diselesaikan oleh negara dan menuntut agar pelaku segera diadili.

Kedelapan, menetapkan 15 Oktober insiden Soanggama Berdarah wajib diperingati setiap tahun. Kesembilan, menuntut agar pos-pos militer di seluruh Intan Jaya segera ditarik karena keberadaannya dianggap warga menciptakan ketakutan dan trauma sehingga warga mengungsi.

Kesepuluh, meminta agar militer Indonesia dan TPNPB sama-sama menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan dalam konflik bersenjata dan tidak menjadikan warga sipil sebagai korban. (*)