Oleh: Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)
PERUNDINGAN antara Israel dan Hamas kini sedang berlangsung di Mesir, difasilitasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar. Topik utama yang dibahas adalah Proposal Trump — sebuah rencana gencatan senjata bertahap yang mencakup pembebasan sandera, pelucutan senjata (disarmament), serta pembentukan pemerintahan transisi di Gaza di bawah pengawasan internasional.
Namun, dari cara dunia menatap meja perundingan itu, tampak jelas: ini bukan negosiasi antara dua kekuatan yang setara. Israel datang sebagai pihak yang dominan — baik di medan perang maupun di ruang diplomasi. Sementara Hamas, yang selama dua tahun terakhir berjuang dari puing-puing Gaza, kini hadir dengan tangan terikat oleh kenyataan pahit: mereka kalah.
Kekalahan ini tidak hanya bersifat militer, tetapi juga moral, politik, dan struktural. Dan di tengah kehancuran total — dengan ribuan korban jiwa, kota yang hancur, dan rakyat yang terlunta-lunta — tak ada lagi yang bisa diperjuangkan dengan senjata. Perang telah kehilangan maknanya. Yang tersisa kini hanyalah pilihan: menyerah untuk menyelamatkan hidup, atau terus berperang untuk memperpanjang kematian.
Fakta Lapangan: Israel Menang Tanpa Tanding
Dalam setiap parameter perang modern — kekuatan tempur, kemampuan teknologi, dukungan diplomatik, hingga kendali narasi global — Israel berada di posisi tak tertandingi.
Selama dua tahun perang, Gaza berubah menjadi reruntuhan. Data dari Reuters dan The Guardianmenunjukkan bahwa lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak. Sekitar 90 persen infrastruktur Gaza hancur total. Rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah rata-rata luluh lantak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sistem kesehatan Gaza “runtuh total,” sementara sebagian besar rumah sakit kini hanya berfungsi sebagai tempat menampung jenazah.
Di sisi lain, Israel berhasil mempertahankan stabilitas nasionalnya. Korban sipil di pihak mereka relatif kecil. Sistem Iron Dome mereka mampu menahan lebih dari 95% serangan roket Hamas. Dominasi teknologi dan sumber daya membuat Israel mampu mengatur ritme perang sesuai keinginannya. Mereka bisa menyerang kapan saja, di mana saja, tanpa kehilangan daya tempur signifikan.
Operasi besar seperti May 2025 Gaza Offensive menandai titik balik: Hamas kehilangan markas utama, gudang senjata, dan sebagian besar jaringan bawah tanah yang menjadi tulang punggung logistik mereka. Di wilayah strategis seperti Shuja’iyya, Khan Younis, dan Beit Hanoun, pasukan Israel berhasil merebut kembali wilayah yang dulu menjadi pusat pertahanan Hamas. Kini, sebagian besar pasukan Hamas hanya bertahan dalam kelompok kecil tanpa koordinasi terpusat.
Israel juga memenangkan perang dalam diplomasi. United Nations Security Council Resolution 2735menyetujui rencana gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat dan mendesak Hamas untuk menerimanya. Israel menyatakan kesediaannya, sementara Hamas masih menunda-nunda keputusan. Dalam politik internasional, langkah ini memperkuat citra Israel sebagai pihak yang “rasional,” sementara Hamas semakin dipersepsikan sebagai penghalang perdamaian.
Kemenangan semacam ini bukan hanya hasil kekuatan militer, melainkan hasil penguasaan penuh terhadap sistem global: senjata, diplomasi, dan wacana. Dan itu adalah bentuk kemenangan yang jauh lebih permanen daripada sekadar menguasai wilayah.
Kekalahan Total Hamas
Hamas tidak sekadar kalah dalam pertempuran. Mereka runtuh sebagai struktur politik, ekonomi, dan sosial.
Pertama, blokade total Gaza membuat Hamas tak lagi memiliki kemampuan bertahan. Jalur bantuan kemanusiaan dibatasi ketat; suplai pangan, bahan bakar, dan obat-obatan sangat minim. Rakyat Gaza kini hidup di bawah penderitaan kemanusiaan terburuk abad ini. Tidak ada tentara yang bisa bertahan dalam perang tanpa makanan, air, dan dukungan rakyat.
Kedua, dukungan rakyat Gaza sendiri mulai luntur. Pada awal perang, Hamas masih dianggap simbol perlawanan terhadap penjajahan. Tetapi seiring waktu, rakyat mulai lelah. Mereka melihat rumah mereka hancur, anak-anak mereka mati, dan masa depan mereka lenyap tanpa arah. Hamas yang dulu dibela kini mulai dianggap sebagai penyebab malapetaka. Dalam bisik-bisik di kamp pengungsian, banyak warga bertanya: “Sampai kapan kami harus mati demi perang yang tak berujung ini?”
Ketiga, dukungan dunia Arab menghilang satu per satu. Mesir, Yordania, dan Arab Saudi kini mendesak Hamas untuk menerima rencana gencatan senjata. Bahkan Mesir secara terbuka meminta Hamas “berpikir realistis” dan “meletakkan senjata demi rakyat Gaza.” Negara-negara Arab tak ingin perang ini terus mengganggu stabilitas regional. Bagi mereka, kepentingan nasional lebih penting daripada romantisme solidaritas Palestina.
Keempat, Hamas kehilangan legitimasi moral internasional. Dunia yang dulu bersimpati kini mulai berpaling. Serangan roket ke wilayah sipil Israel membuat Hamas sulit lagi dilihat sebagai “pejuang pembebasan.” Sebaliknya, penderitaan rakyat Gaza yang terus berlanjut membuat banyak negara menilai Hamas tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri. Dunia ingin perdamaian, bukan ideologi kekerasan.
Kekalahan moral inilah yang paling fatal. Sebab, ketika perjuangan kehilangan makna etisnya, maka senjata apa pun yang diangkat tidak lagi memiliki alasan untuk ditembakkan.
Proposal Trump: Jalan Satu-satunya
Proposal Trump menjadi satu-satunya jalan keluar realistis bagi Hamas. Rencana itu terdiri dari dua puluh poin utama, termasuk penghentian total serangan, penarikan pasukan Israel secara bertahap, pertukaran sandera, pelucutan senjata Hamas, dan pembentukan pemerintahan sementara di Gaza.
Israel sudah menyetujui rancangan itu, sementara Hamas masih bersikap setengah hati. Tetapi semua pihak — dari Washington hingga Kairo — memahami bahwa waktu berpihak pada Israel. Setiap hari Hamas menunda, setiap hari pula penderitaan rakyat Gaza bertambah.
Menerima Proposal Trump memang berarti mengakui kekalahan. Namun menolak proposal itu sama dengan mengundang kehancuran total. Dalam logika politik, Hamas tidak sedang dihadapkan pada pilihan antara “menang” dan “kalah,” melainkan antara “kalah” dan “musnah.”
Bagi Hamas, menyerah melalui diplomasi bukan bentuk penghinaan, tetapi strategi penyelamatan terakhir. Dengan menerima kesepakatan, Gaza memiliki peluang untuk dibangun kembali, rakyat bisa menerima bantuan kemanusiaan, dan generasi muda Gaza bisa tumbuh tanpa bom di atas kepala mereka.
Hamas tidak akan lagi menjadi penguasa Gaza, tetapi bisa tetap menjadi bagian dari sejarahnya — bukan sebagai penyebab kehancuran, melainkan sebagai pihak yang menutup babak perang dengan kebijaksanaan. Itu mungkin satu-satunya kehormatan yang tersisa.
Menyerah: Jalan Paling Mulia yang Tersisa
Bagi sebagian orang, kata “menyerah” terdengar seperti kekalahan mutlak. Namun dalam tragedi sebesar Gaza, menyerah justru bisa menjadi tindakan paling mulia.
Menyerah berarti mengakui batas kekuatan manusia. Menyerah berarti mendahulukan keselamatan rakyat di atas ideologi dan senjata. Menyerah berarti mengakhiri penderitaan massal demi menyelamatkan kehidupan yang masih tersisa.
Dalam sejarah, banyak perang besar berakhir bukan karena kemenangan mutlak, tetapi karena kesadaran moral bahwa kemanusiaan lebih berharga dari harga diri politik. Hamas kini berada di titik yang sama. Mereka bisa memilih menjadi simbol perlawanan yang binasa bersama rakyatnya, atau menjadi pihak yang berani mengakhiri perang untuk memberi kesempatan hidup kepada jutaan orang.
Jika Hamas bersikeras melanjutkan perlawanan, maka dunia akan mencatat mereka bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai penggerak kehancuran. Namun jika mereka berhenti dan memilih jalan damai, dunia mungkin akan mengingat mereka sebagai gerakan yang tahu kapan harus berhenti demi kemanusiaan.
Menyerah bukan berarti tunduk kepada Israel. Menyerah berarti tunduk pada kebenaran yang tak bisa dibantah: bahwa rakyat Gaza tidak bisa terus hidup di bawah puing dan kematian.
Israel Menang Karena Sistem, Hamas Kalah Karena Ilusi
Israel menang bukan karena moralitasnya lebih tinggi, tetapi karena sistemnya lebih kuat. Mereka memiliki struktur pertahanan modern, teknologi canggih, ekonomi stabil, dan jaringan diplomatik luas. Israel tidak bertarung sendirian; mereka didukung oleh kekuatan besar dunia yang menjaga keberlangsungannya.
Sebaliknya, Hamas berperang dengan cara lama: penuh semangat, tetapi tanpa arah strategi yang realistis. Mereka berpegang pada narasi perjuangan yang heroik, tetapi melupakan bahwa dunia modern tidak lagi bergerak dengan semangat semata. Dunia bergerak dengan sistem, bukan simbol.
Hamas gagal membaca perubahan zaman. Mereka menempatkan diri sebagai gerakan perlawanan abad ke-20 di tengah geopolitik abad ke-21. Perlawanan fisik tanpa kekuatan diplomatik adalah perjuangan yang sudah kalah sejak awal. Sementara Israel mengubah setiap kemenangan militer menjadi legitimasi politik, Hamas justru mengubah setiap kekalahan menjadi mitos perjuangan — dan mitos tidak bisa membangun negara.
Kekalahan Hamas adalah kekalahan dari kenyataan. Kemenangan Israel adalah kemenangan dari perencanaan. Dan itulah sebabnya, perang ini hanya mungkin berakhir satu arah.
Penutup
Kini, perang telah kehilangan semua alasan rasional untuk dilanjutkan. Rakyat Gaza sudah membayar terlalu mahal: kehilangan rumah, tanah, keluarga, dan masa depan. Tidak ada kemenangan yang pantas diperjuangkan di atas reruntuhan manusia.
Hamas harus berani mengambil keputusan paling sulit dalam sejarahnya: berhenti berperang, menerima kekalahan, dan memilih jalan damai. Itu bukan aib, melainkan kebesaran jiwa. Di dunia yang diatur oleh kekuatan, keputusan untuk hidup adalah bentuk keberanian yang tertinggi.
Israel memang menang, dan dunia mengetahuinya. Tetapi sejarah masih memberi kesempatan bagi Hamas untuk menutup babak ini dengan cara terhormat — bukan dengan amarah, melainkan dengan tanggung jawab.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mengingat siapa yang menembak peluru terakhir, tetapi siapa yang berani menghentikan perang. Hamas punya kesempatan itu hari ini — untuk menyelamatkan rakyatnya, menyelamatkan masa depan Gaza, dan menyelamatkan kehormatan terakhir yang masih tersisa.
Hamas kalah! Menyerahlah! Demi rakyatmu, demi masa depanmu, dan demi kehidupan itu sendiri.