OPINI  

Dilema Mesir dan Yordania dalam Perang Gaza

Yakobus Dumupa, Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua. Foto: Dok. Odiyaiwuu.com

Loading

Oleh:Yakobus Dumupa
(Pembelajar Hubungan Internasional dan Isu-isu Global, tinggal di Nabire, Tanah Papua)


Perang Gaza dan Ujian Negara Arab

Perang antara Israel dan Hamas yang pecah sejak Oktober 2023 telah menjadi ujian paling berat bagi dunia Arab dalam satu dekade terakhir. Ribuan warga sipil Palestina tewas, rumah-rumah hancur, dan Gaza kembali menjadi panggung tragedi kemanusiaan yang mengguncang nurani global. Dunia Arab, yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pelindung dan saudara Palestina, dituntut untuk bersikap keras terhadap Israel.

Namun kenyataannya, tidak semua negara Arab menempuh jalan yang sama. Turki misalnya tampil dengan retorika keras, bahkan memutus hubungan perdagangan miliaran dolar dengan Israel. Negara-negara Teluk seperti Qatar atau Kuwait menyalurkan bantuan dan mengangkat suara di forum internasional. Di sisi lain, Mesir dan Yordania—dua negara yang justru berbatasan langsung dengan Israel—memilih sikap yang lebih hati-hati. Mereka mengecam, mengambil langkah diplomatik terbatas, tetapi tetap menjaga kerangka damai dengan Israel.

Di sinilah letak dilema besar yang dihadapi Mesir dan Yordania. Sebagai negara Arab, publik menuntut mereka berdiri tegak bersama Palestina. Namun sebagai negara yang terikat perjanjian damai dengan Israel, keduanya tak bisa melangkah terlalu jauh. Moderasi yang mereka pilih adalah jalan tengah, tetapi di balik moderasi itu ada dilema yang sulit dihindari.

Mesir: Antara Solidaritas dan Kekhawatiran Sinai

Mesir memiliki sejarah panjang konflik dengan Israel, tetapi sejak penandatanganan Camp David Accords pada 1978 dan perjanjian damai pada 1979, hubungan keduanya berada dalam kerangka damai yang rapuh. Perjanjian itu mengembalikan Sinai kepada Mesir dan sejak itu stabilitas kawasan relatif terjaga. Namun, perjanjian damai ini juga membuat Mesir harus berhitung dalam setiap langkahnya terhadap Israel.

Dalam perang Gaza sekarang, Presiden Abdel Fattah el-Sisi menunjukkan penolakan keras terhadap rencana Israel memindahkan warga Palestina ke Sinai. Baginya, itu bukan hanya soal solidaritas terhadap Palestina, tetapi juga ancaman langsung terhadap kedaulatan Mesir. Sinai adalah kawasan rawan, penuh tantangan keamanan, dan masuknya gelombang pengungsi akan memperburuk situasi.

Mesir mengecam operasi militer Israel, menegaskan dukungan pada rakyat Palestina, dan bahkan memperingatkan bahwa tindakan Tel Aviv bisa mengancam stabilitas regional. Tetapi di sisi lain, Mesir tetap menjaga komunikasi dengan Israel. Bahkan, dalam banyak kasus, Mesir berperan sebagai mediator utama dalam negosiasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel.

Inilah wajah dilema Mesir: di satu sisi ingin membela Palestina, di sisi lain harus menjaga kepentingan nasional dan komitmen damai. Moderasi adalah pilihan rasional, tetapi membuat Mesir seolah berdiri di dua perahu: solidaritas Arab dan perjanjian damai dengan Israel.

Yordania: Tekanan Publik dan Realitas Politik

Yordania menghadapi dilema yang tak kalah rumit. Perjanjian damai dengan Israel ditandatangani pada 1994, menjadikan Yordania sebagai negara Arab kedua yang mengakui Israel secara resmi. Namun kondisi domestik Yordania membuat isu Palestina menjadi lebih sensitif. Lebih dari separuh penduduk Yordania adalah keturunan Palestina, sehingga konflik Gaza selalu membakar emosi publik.

Sejak awal perang Gaza, jalan-jalan di Amman dipenuhi demonstrasi besar. Rakyat menuntut pemerintah mengambil sikap tegas, bahkan memutus hubungan dengan Israel. Tekanan publik ini begitu kuat hingga pemerintah Yordania menarik duta besarnya dari Tel Aviv pada November 2023 sebagai bentuk protes keras.

Namun, langkah itu berhenti pada level simbolis. Yordania tidak sampai memutuskan hubungan diplomatik, apalagi membatalkan perjanjian damai 1994. Lebih jauh lagi, di balik layar, kerjasama keamanan dengan Israel tetap berjalan. Koordinasi perbatasan, pertukaran intelijen, hingga kerjasama pertahanan udara masih berlangsung karena dianggap penting bagi stabilitas negara.

Dilema Yordania terletak di antara dua kepentingan: meredakan amarah rakyat yang mendesak sikap keras, dan menjaga stabilitas politik serta hubungan dengan sekutu internasional. Moderasi yang mereka ambil adalah kompromi—cukup keras di permukaan, tetapi tetap realistis dalam kebijakan.

Moderasi yang Sarat Dilema

Jika disandingkan, Mesir dan Yordania berada dalam posisi yang mirip. Keduanya tidak bisa diam sepenuhnya, tetapi juga tidak bisa melompat ke dalam konfrontasi langsung dengan Israel. Mereka sama-sama memilih jalur moderat: mengecam Israel, menolak langkah-langkah yang merugikan Palestina, tetapi tetap menjaga jalur komunikasi dan komitmen damai.

Moderasi ini mencerminkan kalkulasi politik yang realistis. Mesir ingin melindungi stabilitas Sinai, sementara Yordania ingin menjaga stabilitas domestik dan legitimasi politiknya. Namun harga dari moderasi ini adalah dilema besar: mereka dituding sebagai “lemah” di mata publik Arab yang menginginkan konfrontasi, dan di sisi lain tetap dianggap oleh Israel hanya sebagai mitra yang setengah hati.

Pertanyaannya, sampai kapan mereka bisa bertahan dengan sikap moderat ini? Selama perang Gaza masih berlangsung dan korban sipil terus berjatuhan, tekanan publik terhadap Mesir dan Yordania akan semakin besar. Tetapi sejarah menunjukkan, keduanya akan tetap menjaga keseimbangan rapuh itu. Mereka tidak bisa mengambil risiko membatalkan perjanjian damai, karena stabilitas negara dipertaruhkan.

Dengan demikian, dilema Mesir dan Yordania bukanlah situasi sementara, melainkan kenyataan politik yang akan terus mereka hadapi setiap kali konflik Palestina–Israel memanas. Moderasi adalah pilihan yang tak terhindarkan, tetapi dilema adalah harga yang harus mereka bayar.