Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM Terbitkan Surat Penundaan Festival Asmat Pokman 2025

Uskup Keuskupan Agats Mgr Aloysius Murwito, OFM. Sumber foto: hidupkatolik.com, 29 Juli 2023

AGATS, ODIYAIWUU.com Pihak Keuskupan Agats menunda pelaksanaan Festival Asmat Pokman (FAP) ke-38 yang sedianya digelar awal Oktober 2025. Penundaan tersebut merupakan respons peristiwa kekerasan yang menimpa dua anggota tim seleksi ukiran FAP di Distrik Youw pada Sabtu (16/8).

Keputusan penundaan tersebut diambil melalui Surat Keuskupan Agats Nomor 89.020.00.05 tertanggal 6 September 2025 dan salinannya diperoleh dari Asmat, Papua Selatan, Rabu (10/9). 

Surat dengan perihal Sikap dan Keputusan Bapak Uskup Agats terkait Insiden yang Menimpa Tim Seleksi FAP 2025 ditujukan juga kepada sejumlah pihak. Antara lain, Bupati Kabupaten Asmat, Ketua DPRD Asmat, Ketua LMA Asmat, Ketua LMAA Asmat, dan Kepala Dinas Pariwisata Asmat.

Selain itu, para imam, biarawan dan biarawati, para petugas pastoral, para pengukir, penganyam, dan seluruh  lapisan masyarakat dan umat Allah  se-Keuskupan Agats.

Menurut Uskup Keuskupan Agats Mgr Aloysius Murwito, OFM, insiden itu dipicu oleh kesalahpahaman terkait aturan seleksi. Aturan yang berlaku sejak lama, yaitu semua ukiran yang sudah digunakan dalam ritual adat tidak boleh ikut seleksi, dimaksudkan untuk menjaga nilai sakralnya.

“Tindak kekerasan itu terjadi karena ada mis atau salah pengertian terkait ukiran yang bisa ikut proses seleksi dengan yang tidak boleh ikut dalam proses seleksi,” ujar Uskup Murwito. 

Menurut Uskup Murwito, aturan yang berlaku sejak almarhum Yuvensius Biakai menjelaskan bahwa semua ukiran atau patung Asmat yang sudah dipestakan dalam ritual adat tidak boleh ikut dalam proses seleksi. 

Aturan itu dimaksudkan untuk memproteksi ukiran-ukiran Asmat yang sudah memiliki roh karena sudah dipestakan. Dalam tradisi orang Asmat, kata Uskup Murwito, ukiran-ukiran yang sudah dipestakan merupakan benda sakral.

Namun, beberapa pengukir gagal memahami aturan ini, yang memicu kemarahan hingga berujung pada tindak kekerasan. Uskup Murwito dalam surat resminya juga menyatakan kesedihan mendalam. 

Dalam surat Uskup Murwito tersebut diambil beberapa keputusan penting. Pertama, rencana pesta budaya yang akan berlangsung pada awal Oktober 2025 tidak dilanjutkan atau dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Kedua, para pelaku tindak kekerasan yang melakukan pemukulan terhadap kedua saudara yang disebutkan di atas harus diselesaikan perkaranya menurut peraturan yang berlaku.

Ketiga, karena peristiwa ini melukai hati banyak orang maka harus dilakukan rekonsiliasi atau upaya-upaya pendamaian kembali berdasarkan terang budaya dan iman Kristiani. Untuk itu, sangat diharapkan kepada para tokoh adat maupun tokoh umat harus duduk bersama membicarakan upaya-upaya perdamaian itu.

Keempat, bila langkah-langkah rekonsiliasi ini ditempuh dan mendapatkan solusi atau hasil yang positif dalam rangka pemulihan hubungan persaudaraan, maka kita akan berbicara lagi kemungkinan diteruskannya pesta budaya seni ukir selanjutnya. 

“Demikian surat himbauan, tanggapan, pernyataan sikap dan keputusan dari bapak uskup terkait kasus yang telah menimpa bapak John Ohoiwirin dan Pastor Lukas Lega Sando. Semoga semua saudara yang dengan cara apapun terkait dengan peristiwa ini dapat menerima dengan tangan dan hati terbuka. Tuhan memberkati kita semua,” ujar Uskup Murwito.

Media ini sebelumnya memberitakan, Ketua Komisi Kebudayaan Keuskupan Agats-Asmat John Ohoiwirin dan Ketua Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats-Asmat Pastor Lukas Lega Sando, Pr, Sabtu (16/8) dianiaya di Kampung Youw, Distrik Betcbamu, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.

John Ohoiwirin adalah Direktur Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat sekaligus Ketua Tim Seleksi Festival Asmat Pokman (FAP) Tahun 2025. Sedangkan Pastor Lucky —sapaan akrab Lukas Lega Sando, Pr— adalah Anggota Tim Seleksi Festival Asmat Pokman.

FAP merupakan ajang kebudayaan rutin digelar dan menjadi kebanggaan masyarakat Asmat. Namun, buntut penganiayaan tersebut FAP tahun 2025 berada di ujung tanduk. Harapan besar untuk melestarikan seni, ukiran, dan tradisi leluhur Asmat terancam kandas setelah dua tokoh kunci penyelenggara mengalami penganiayaan.

John Ohoiwirin dan Pastor Lukas Lega Sando diserang oleh sekelompok warga dari Kampung Warkai sebelum proses seleksi dimulai. Serangan itu meninggalkan luka fisik maupun batin. John mengalami luka di kepala dan memar di tubuh akibat hantaman benda tumpul. Sedangkan Pastor Lucky menderita patah tulang hidung.

Kedua korban sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perpetua J Safanpo Agats sebelum akhirnya dirujuk ke Timika, kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah untuk menjalani perawatan lebih lanjut. Meski sudah ditangani pihak medis, korban dan keluarga masih mengalami trauma.

“Untung saja ada Pastor Lucky (Pastor Lukas Lega Sando, Pr) dan dua dewan gereja yang langsung melindungi saya. Waktu itu saya sudah lemas,” ujar John Ohoiwirin dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca mengutip keuskupanagats.or.id, laman resmi Keuskupan Agats-Asmat di Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Sabtu (23/8).

John juga mengungkapkan kesedihan hatinya mengingat ia sudah lebih dari 20 tahun bekerja untuk Asmat dan kebudayaan setempat. Namun, kali ini ia mengalami peristiwa yang memilukan dan merasa trauma. Bahkan John mengaku ikhlas untuk tanah ini dan percaya bahwa leluhur Asmat tahu peristiwa kelam yang menimpanya. 

“Untuk sekadar mendapat untung, saya memilih untuk tidak ikut menjaga, merawat, dan melestarikan budaya ini karena ada pekerjaan lain yang cukup menjanjikan. Namun saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan budaya ini,” ujar John, pria yang pernah belajar tentang tata kelola museum, dan display di Queensland University, Australia.

Seleksi Festival Asmat Pokman sejatinya sudah berjalan pada beberapa titik seleksi seperti di Bayun Krongkel, Primapun, dan Basim Fait. Namun akibat peristiwa penganiayaan ini, sejumlah titik lain di Asmat tertunda. Waktu pelaksanaan semakin dekat, namun ketidakpastian makin terasa.

Kekerasan ini tidak hanya melukai tubuh dua tim seleksi, keluarga maupun pihak Keuskupan Agats tetapi juga melukai harapan seluruh masyarakat Asmat yang mendambakan ruang untuk menampilkan karya dan menjaga jati diri mereka melalui festival tersebut. 

Apa yang terjadi menjadi tamparan keras bahwa merawat budaya membutuhkan keberanian menghadapi tantangan bahkan dari dalam rumah sendiri. Kini, Asmat menunggu, apakah festival akan tetap berjalan atau trauma dan kekerasan ini akan memadamkan api semangat yang telah dijaga turun-temurun. (*)