Reformasi POLRI: Jalan Panjang Menuju Institusi yang Profesional

Reformasi POLRI: Jalan Panjang Menuju Institusi yang Profesional. Gambar ilustrasi: Odiyaiwuu.com

Loading

BEBERAPA tahun terakhir, suara publik semakin keras menuntut dilakukannya reformasi POLRI. Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Kepolisian Republik Indonesia, sebagai institusi penegak hukum dan pelindung masyarakat, kerap disorot karena berbagai persoalan serius, baik menyangkut integritas personel maupun tata kelola institusi. Dari kasus korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelanggaran HAM, hingga gaya hidup mewah sebagian pejabatnya, semua itu meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan menjaga hukum dan keamanan.

Pertama, persoalan menyangkut individu anggota POLRI. Kasus-kasus besar seperti keterlibatan aparat dalam jaringan narkoba, pungutan liar di jalanan, serta perilaku arogan oknum polisi menjadi potret buram wajah institusi ini. Meskipun Kapolri kerap menegaskan komitmen untuk menindak tegas anggotanya yang melanggar, publik menilai langkah tersebut belum menyentuh akar persoalan. Masalah moralitas, mentalitas, dan profesionalitas sebagian personel masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Kedua, dari sisi institusional, POLRI menghadapi masalah yang lebih kompleks. Struktur organisasi yang gemuk, budaya feodal yang masih kuat, serta dominasi perwira tinggi dalam pengambilan keputusan sering kali menimbulkan ketidakefisienan dan kesenjangan. Selain itu, hubungan POLRI dengan kekuasaan politik juga kerap menimbulkan kecurigaan publik. Alih-alih berdiri independen sebagai penegak hukum, POLRI kerap dianggap menjadi alat politik penguasa. Hal ini mencederai prinsip netralitas dan akuntabilitas yang seharusnya dijunjung tinggi.

Ketiga, sistem rekrutmen dan pendidikan anggota juga sering dipersoalkan. Masih ditemukan praktik jual beli jabatan maupun pungutan dalam proses masuk kepolisian, yang pada akhirnya melahirkan generasi polisi yang sejak awal sudah terjerat praktik kotor. Bagaimana mungkin institusi dapat melahirkan aparat yang bersih, jika fondasi pembentukannya saja sudah ternoda? Reformasi dalam proses rekrutmen, pendidikan, dan promosi jabatan adalah kebutuhan mendesak agar POLRI mampu menghadirkan personel yang berkualitas dan berintegritas.

Keempat, tantangan dalam pelayanan publik. Rakyat menginginkan polisi yang melayani, bukan menakuti. Namun realitas di lapangan sering kali berbeda. Laporan masyarakat yang lamban ditindaklanjuti, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, serta penggunaan kekerasan berlebihan dalam pengendalian aksi demonstrasi menunjukkan adanya jarak antara polisi dan rakyat. Padahal, semboyan “Polisi adalah sahabat masyarakat” hanya bisa bermakna bila institusi ini sungguh-sungguh menempatkan rakyat sebagai pusat pelayanan.

Oleh karena itu, reformasi POLRI harus dilakukan secara menyeluruh, tidak cukup dengan sekadar mengganti pejabat atau meluncurkan slogan baru. Reformasi itu mencakup pembenahan sistem rekrutmen, peningkatan kualitas pendidikan, penegakan kode etik yang konsisten, penguatan mekanisme pengawasan internal maupun eksternal, serta penegasan posisi POLRI sebagai institusi yang independen dari intervensi politik.

Rakyat tidak menuntut polisi yang sempurna, tetapi menuntut polisi yang jujur, profesional, dan berpihak pada keadilan. Kepercayaan publik adalah modal utama institusi ini untuk bekerja efektif. Jika POLRI gagal melakukan reformasi, maka jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan aparat akan semakin melebar, yang pada akhirnya mengancam legitimasi negara itu sendiri. Sebaliknya, jika reformasi dijalankan dengan sungguh-sungguh, POLRI bisa benar-benar menjadi institusi modern yang membanggakan, bukan hanya di mata rakyat Indonesia, tetapi juga dunia. (Editor)