Kata Tak Selaras Tindakan: Luka dari Para Pemimpin

Kata Tak Selaras Tindakan: Luka dari Para Pemimpin. Foto Ilustrasi: Dok. Odiyaiwuu

INDONESIA tidak kekurangan pemimpin yang pandai berbicara. Di layar televisi, ruang-ruang konferensi, dan akun media sosial, mereka tampil dengan kata-kata manis: “Demi rakyat”, “Untuk keadilan”, “Kami hadir untuk melayani”. Namun di balik retorika itu, rakyat sering mendapati kenyataan yang jauh berbeda—bahkan menyakitkan.

Di berbagai daerah, janji-janji kampanye yang diucapkan dengan penuh semangat kini tinggal gema kosong. Pemimpin yang pernah bersumpah akan memberantas korupsi justru menjadi bagian dari jejaring yang rakus dan licik. Yang berseru soal kesejahteraan malah menelantarkan anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan. Yang mengaku cinta rakyat justru mudah mengkriminalisasi suara rakyat yang berbeda pandangan.

Ironi ini membentuk pola yang melukai hati rakyat kecil. Masyarakat mulai belajar bahwa kata-kata pemimpin bukanlah kebenaran, melainkan strategi. Di sinilah luka kolektif bangsa dibentuk: ketika rakyat merasa dibohongi oleh orang yang mereka percaya.

Rakyat yang menggantungkan harapan, kini menjadi penonton kecewa atas kebijakan yang tak pernah menyentuh kebutuhan mereka. Dari pemindahan ibu kota yang dipaksakan, hingga proyek-proyek infrastruktur yang lebih menguntungkan investor ketimbang warga lokal. Semua dibungkus kata-kata indah, tetapi kenyataannya mengabaikan denyut kehidupan rakyat kecil.

Lebih menyakitkan lagi, ketika pemimpin tampil di depan publik dengan narasi seolah peduli, tetapi di belakang meja, mereka memutuskan sesuatu yang menyengsarakan. Kata-kata seperti “transparansi”, “partisipasi”, dan “keadilan” digunakan seperti bumbu pidato, bukan sebagai prinsip yang benar-benar dijalankan.

Masyarakat semakin jenuh. Ketika kata tidak lagi berarti, maka yang tumbuh adalah ketidakpercayaan. Dan dari ketidakpercayaan itu lahirlah apatisme, kemarahan, bahkan perlawanan. Ini bukan sekadar masalah komunikasi. Ini adalah krisis moral—di mana integritas pemimpin dipertaruhkan oleh perbedaan antara ucapan dan tindakan.

Pemimpin seharusnya menjadi teladan, bukan hanya dalam retorika, tetapi terutama dalam perbuatan. Keberanian untuk mengatakan yang benar harus sejalan dengan keberanian untuk melakukannya. Jika tidak, maka setiap pidato akan terasa seperti penghinaan terhadap kecerdasan rakyat.

Sudah saatnya para pemimpin Indonesia merenung. Rakyat tidak menuntut kesempurnaan, tetapi kejujuran. Rakyat tidak mengharapkan mukjizat, tetapi ketulusan. Dan di atas segalanya, rakyat ingin diperlakukan sebagai manusia—bukan sekadar objek janji yang dilupakan saat kekuasaan digenggam.

Bangsa ini bisa besar, tetapi hanya jika pemimpinnya belajar menyatukan kata dan perbuatan. Sebab ketika kata-kata dijalankan dengan kesungguhan, di sanalah kepercayaan dibangun dan luka rakyat mulai disembuhkan. (Editor)