Anggota MRP Papua Periode 2023-2028 Sebaiknya Dibubarkan
OPINI  

Anggota MRP Papua Periode 2023-2028 Sebaiknya Dibubarkan

Marinus Mesak Yaung, dosen Universitas Cenderawasih Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Marinus Mesak Yaung

Dosen Universitas Cenderawasih Papua

Pelantikan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua periode 2023-2028 adalah hasil dari praktek politik “devide et empira” Jakarta terhadap Papua. Kalau kursi kekuasaan MRP direbut dengan cara Papua tipu Papua, Papua fitnah Papua, dengan strategi kami merah putih, mereka Bintang Kejora, lebih baik Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Muhammad Tito Karnavian jangan lantik anggota MRP Papua periode tersebut.

Kursi kekuasaan MRP yang direbut orang Papua lain dengan cara-cara penghianatan sesama orang asli Papua, akan membuat MRP ke depan menjadi lembaga pelengkap penderitaan orang Papua.

Bila Tito Karnavian tidak melantik tiga orang asli Papua representasi adat dan agama, yakni Orpa Nari, Robert Wanggai dan Benny Swenny, maka bubarkan saja lembaga MRP.

Kalau pertimbangan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) bahwa mereka bertiga tidak lolos proses bersih diri atau clearing house tim seleksi Badan Intelijen Negara (BIN), Kemenkopolhukam, Kejaksaaan Agung dan Kemendagri, maka kasus kejahatan politik ini akan menjadi bom waktu yang membahayakan hubungan Jakarta-Papua pasca pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.

Mereka bertiga tidak dilantik karena tim clearing house mendapat laporan dari orang-orang Papua “Merah Putih” bahwa mereka bertiga kader Lukas Enembe dan terlibat dalam aksi MRP pimpinan Timotius Murid yang mendukung referendum politik Papua di periode kepemimpinannya.

Catatan penting

Jika Mendagri Tito Karnavian dan Jakarta mengeluarkan kebijakan strategis untuk Papua dengan menggunakan kacamata isu kader Lukas Enembe dan pendukung referendum Papua, ada dua catatan atau hal penting yang ingin saya ingatkan kepada Jakarta dan Mendagri Tito Karnavian.

Pertama, kebijakan ini adalah kebijakan diskriminasi dan rasialis. Ada kader-kader Lukas Enembe yang dipromosikan menduduki posisi Pejabat Gubernur di Papua, tetapi orang asli Papua seperti perempuan asli Papua Orpa Nari, Robert Wanggai, dan Benny Swenny tidak dipromosikan hak konsitusi mereka untuk menduduki kursi MRP. Jakarta jangan terus-menerus mengeluarkan kebijakan diskriminatuf dan rasial terhadap orang Papua. Jakarta jangan menciptakan terus konflik horizontal di Papua. Kami mau hidup damai di atas tanah adat kami sendiri, tanah Papua.

Kedua, fitnah dan tuduhan kepada orang-orang Papua sebagai pendukung referendum Papua, sebagai kelompok Bintang Kejora pro kemerdekaan Papua, karena sikap kritis mereka terhadap kebijakan negara yang keliru dan belum tepat sasaran membangun Papua harus segera dikeluarkan dari hati dan pikiran orang Jakarta.

Tidak bisa Jakarta mau merebut atau menangkan hati dan pikiran orang Papua dengan preferensi-preferensi elit Jakarta model begini. Fitnah dan curiga tanpa bukti yang kuat terhadap Orpa Nari, Robert Wanggai dan Benny Swenny karena mereka ancaman terhadap kedaulatan negara di Papua, sudah harus dihentikan.

Kalau tidak dihentikan segera, saya minta Tito Karnavian tidak melantik 34 anggota MRP Papua atau segera bubarkan lembaga MRP. Lembaga tidak jelas kerjanya dan menjadi beban keuangan negara.

Uang negara untuk lembaga MRP ini lebih baik digunakan untuk membayar gaji dan honor guru-guru kontrak, honorer, baik negeri maupun swasta di seluruh tanah Papua yang beban kerja mereka sangat berat tapi gaji dan honorarium mereka tidak diperhatikan pemerintah daerah dan pihak yayasan.

Juga untuk biayai ratusan ribuh anak usia sekolah di Papua, yang putus sekolah atau tidak mendapat kesempatan belajar di jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Menurut data dosen Universitas Papua (Unipa) Agus Sumule ada sekitar 407.543 ribu anak usia sekolah di Provinsi Papua dan Papua Barat putus sekolah di semua jenjang pendidikan. Alasannya, mereka tidak memiliki uang untuk melanjutkan studi.

Anak-anak Papua yang malang ini lebih butuh uang dibandingkan para anggota MRP di lima provinsi di tanah Papua. Para anggota MRP di lima provinsi di tanah Papua, tidak jelas kerjanya tapi mendapat privelege istimewa dari negara untuk menerima uang ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk operasional namun tidak jelas kinerja mereka.

Semoga Tito Karnavian bisa arif dan bijaksana untuk menyelesaikan kasus politik devide et impera sesama orang Papua di balik perebutan kursi kekuasaan lembaga MRP.

Tinggalkan Komentar Anda :