NABIRE, ODIYAIWUU.com — Aksi kekerasan berupa penghadangan hingga pemukulan oleh anggota Polres Nabire terhadap awak media terjadi di Nabire, kota Provinsi Papua Tengah, Jumat (5/4).
Para kuli tinta yang tengah meliput demo massa terkait kasus penganiayaan terhadap warga sipil di Puncak oleh oknum prajurit TNI yang videonya beredar kemudian viral beberapa waktu lalu.
Keempat kuli tinta tersebut adalah jurnalis wagadei.id Elias Douw, Kristianus Degey dari seputarpapua.com, Yulianus Degei dari Tribun-Papua.com, dan Melkianus Dogopia dari tadahnews.com.
“Kekerasan terhadap empat wartawan itu terjadi di Nabire Jumat, (5/4) sekitar pukul 8.00 hingga pukul 10.00 pagi di tempat berbeda dan berbeda kasus,” ujar Koordinator Bidang Advokasi dan Hukum Asosiasi Wartawan Papua Abeth Abraham You kepada Odiyaiwuu.com dari Nabire, Papua Tengah, Jumat (5/4).
Wartawan Elias Douw mengatakan, pukul 08.00 WIT ketika saat ia berada di tengah massa di Pasar Karang Tumaritis Nabire untuk meliput aksi demonstrasi, beberapa oknum polisi mendatanginya lalu menanyakan dari media mana.
“Mereka (polisi) tanya, ko dari pers ka atau media mana,” ujar Elias menirukan kata-kata polisi. Elias kemudian menjawab ia adalah jurnalis wagadei.id. Tak lama, sekitar 23 menit, aparat gabungan menembakkan gas air mata sebanyak lima kali. “Setelah itu massa aksi dan anggota polisi mulai ribut,” ujar Elias lebih lanjut.
Elias menambahkan, pukul 08.14, ia berdiri di depan Toko Dwi Jaya, depan Pasar Karang Tumaritis. Beberapa polisi menghampirinya lalu mengeluarkan kata-kata kasar terhadap dirinya.
“Empat orang polisi datang ke saya. Mereka teriak, ‘wee anak kecil ko pulang, ko bikin apa di sini? Ada satu anggota polisi pakai baju hitam juga bilang, ‘wee ko pulang-pulang. Wee ko pulang-pulang, ko pulang ke rumah! Mereka bawa rotan mau pukul saya. Saya takut jadi saya lari dan mereka lari kejar saya. Tapi dari pertengahan mereka (polisi) kembali,” katanya.
Elias mengatakan, polisi mengatakan, apabila masih saja meliput aksi demonstrasi dugaannya ia akan terkena pukulan. “Kalau saya masih di situ mereka bisa pukul saya. Dari reaksi polisi bikin takut,” kata Elias .
Sedangkan Kristianus Degey juga mengalami nasib yang sama. Sekitar jam 8.00 WIT, ia tiba depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire guna meliput aksi demo yang digelar mahasiswa dan rakyat Papua Tengah.
Setiba di rumah sakit ia mengeluarkan handphone untuk merekam jalannya aksi atau mengabadikan momen aksi demo. Namun, melihat aksinya beberapa oknum polisi bereaksi lalu mendekati dan bertanya dengan kasar. ‘Anjing, ko bikin apa? Video dan foto cepat hapus’.
“Saya kasih tahu kalau saya wartawan sambil saya tunjukkan Kartu Pers di dada. Lalu mereka ambil handphone saya dan tahan sekitar 30 menit. Mereka bilang, ‘nanti kau datang ambil di Polres, ya? Mereka juga melanjutkan dengan kata-kata kasar. ‘Kau mau bikin apa ambil video dan foto, otak? Kau pulang sana, babi’. Begitu kata mereka,” ujar Kristianus dengan nada emosi.
Setelah puluhan pendemo diangkat polisi, lanjut Kristianus, dirinya mulai ikut dari belakang sampai di Polres Nabire. Setiba di sana, polisi menahan ambil Kartu Pers Kristianus dan melihat-lihat sebentar.
“kau tidak boleh liput dan kau keluar dari tempat ini. Kau cepat keluar tidak perlu kau liput,” kata Kristianus menirukan kata-kata si polisi. Jurnalis ini mengaku sangat kecewa dengan tindakan aparat Polres Nabire yang melarang wartawan untuk meliput aksi demonstrasi massa.
“Padahal, saya menjalankan tugas sesuai dengan perintah UU Pers. Saya menilai polisi gagal paham terkait aturan UU Pers dan polisi melanggar UU tentang HAM, di mana hak bergerak dan bereaksi itu dihadang dan dilarang sejumlah anggota polisi Polres Nabire,” katanya.
Kristianus bahkan mempertanyakan sebenarnya ada apa sehingga polisi melarang wartawan untuk meliput aksi demonstrasi. “Posisi takut ketahuan perbuatan dan tindakan kekerasannya diketahui di publik sehingga mereka larang wartawan meliput,” katanya.
Ia berharap oknum anggota polisi harus dibekali pengetahuan terkait kebebasan dan kerja pers yang sesungguhnya agar tidak gagal paham dilapangan.
Sementara itu Tribun-Papua.com Yulianus Degei sempat dikeroyok sejumlah oknum polisi saat meliput demo di daerah Wadio, Nabire. “Saat itu saya sedang liput aksi depan hotel Jepara 2 Wadio. Ada polisi datang tanya. Saya bilang, saya wartawan sambil tunjukkan id card,” Yulianus .
Sesuai itu ada anggota polisi menghampirinya lalu melakukan main hakim atau memukul Yulianus di kepala. “Ada empat anggota Polisi datang sama-sama baru pukul saya di kepala tapi untung pakai helm jadi tidak terlalu sakit,” katanya.
Sesaat itu alat kerja jurnalistik Yulianus seperti handphone juga dirampas anggota polisi. “Saya punya handphone juga dirampas paksa. Padahal, saya sedang siaran langsung di Facebook. Saat ini handphone saya ada di tangan polisi,” kata Yulianus.
Melkianus Dogopia juga mengaku mengalami tindakan kekerasan oleh anggota Polres Nabire saat meliput aksi massa. Melkianus mengatakan, pukul, 12.30 WIT ia hendak masuk di titik kumpul Jepara 2.
Melkianus mengaku, titik lokasi Hotel Jepara 2 itu sudah diblokade kepolisian. Massa aksi terbagi di bagian arah gunung Wadio. Sementara di bagian perempatan depan Hotel Jepara 2 dipenuhi anggota kepolisian, sebuah truk Dalmas dan mobil water canon.
“Saya bertemu dengan seorang polisi mengenakan jasa sehingga tak terbaca namanya. Polisi itu menahan saya dan bilang ‘kembali, balik. Di sini sudah tidak bisa lewat. Mau bikin apa? Pulang ke rumah. Begitu kata polisi itu,” kata Melkianus.
Meskipun ia menunjukkan kartu pers, dan surat tugas, polisi itu tetap menyuruh ia balik. “Situasi sudah berubah menjadi kriminal jadi, kamu balik saja, tidak ada ambil-ambil berita di sini,” ujar seorang anggota polisi.
Pelarangan meliput kegiatan aksi tersebut, kata Melkianus, merupakan bagian dari pembungkaman ruang demokrasi. Justru dengan cara melarang aksi demo, kepolisian membiarkan opini liar kepada publik agar konflik yang dipicu ini menjadi bias.
“Hal ini sangat disayangkan karena, masif terjadi di setiap wartawan yang mendapatkan undangan peliputan tapi, tidak dibuka ruang oleh kepolisian,” kata Melkianus.
Kepala Kepolisian Resor Nabire Kompol Wahyudi Satriyo Bintoro saat ditemui, menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya atas peristiwa tidak menyenangkan yang menimpa wartawan di Nabire saat meliput aksi demonstrasi.
“Saya atas nama anak buah, saya menyampaikan mohon maaf. Sekali lagi mohon maaf yang paling dalam. Ini semua terjadi karena kita tidak bisa saling kenal, besok kita coffee morning agar menjaga tali silaturahmi,” kata Wahyudi Satrio Bintoro konferensi pers di depan kantor Gubernur Papua Tengah.
Wartawan Tribun-Papua Yulianus Degei meminta kejadian ini ke depan tidak terulang lagi. “Cukup hari ini saja, kedepan tidak boleh terjadi hal seperti ini. Saya juga meminta handphone milik saya segera dikembalikan polisi,” kata Yulianus di hadapan Kapolres Wahyudi Satrio Bintoro. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)