Universitas Media Sosial - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Universitas Media Sosial

Universitas Media Sosial. Gambar Ilustrasi: Istimewa

Loading

MEDIA sosial telah menjelma menjadi ruang belajar baru bagi anak muda Indonesia. Ia bukan lagi sekadar tempat berbagi kabar atau hiburan, tetapi kini menjadi semacam “universitas” tanpa gedung, tanpa dosen, dan tanpa kurikulum resmi. Anak-anak muda, baik yang sedang kuliah maupun yang seusia mahasiswa tapi tidak menempuh pendidikan tinggi, banyak yang menjadikan media sosial sebagai sumber utama pembentukan pikiran, sikap, bahkan kepribadian.

Fenomena ini meluas dengan cepat. Sebagian besar dari mereka lebih senang “belajar” di TikTok, Instagram, YouTube, X, bahkan Facebook, ketimbang duduk di ruang kuliah atau membaca buku teks. Mereka menyerap informasi dari potongan video, kutipan singkat, atau konten viral. Mereka meniru gaya bicara selebgram, mengikuti logika influencer, dan menyimpulkan masalah kompleks hanya dari satu-dua menit tayangan. Semua ini membentuk pola pikir instan dan dangkal yang memengaruhi cara mereka memandang dunia.

Bukan berarti media sosial sepenuhnya negatif. Justru, jika digunakan dengan cerdas, ia dapat menjadi sarana belajar yang sangat berguna. Namun masalah muncul ketika media sosial menjadi satu-satunya referensi, dan ketika informasi yang beredar tidak dipilah secara kritis. Banyak anak muda kini merasa cukup cerdas hanya karena mengikuti akun-akun viral. Mereka mulai menggampangkan pendidikan formal, meremehkan proses belajar yang mendalam, dan menyingkirkan nilai-nilai akademik seperti keragaman sudut pandang, argumentasi yang logis, dan kemampuan berpikir sistematis.

Dampak dari fenomena ini sangat nyata. Pertama, karakter intelektual generasi muda menjadi rapuh. Mereka mudah terprovokasi, cepat menarik kesimpulan, dan cenderung menolak argumen yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Kedua, kemampuan berpikir kritis menurun. Mereka lebih senang dengan jawaban cepat dan solusi instan daripada analisis yang mendalam. Ketiga, kehidupan sosial pun terpengaruh. Diskusi berubah menjadi ajang perdebatan tanpa isi, empati tergantikan oleh ejekan, dan kebenaran menjadi relatif, tergantung siapa yang paling berpengaruh di dunia maya.

Kita sedang menyaksikan munculnya generasi yang fasih berbicara di ruang digital, tetapi kesulitan menyusun argumen dalam ruang ilmiah. Mereka cekatan membuat konten, tetapi kurang terampil membaca dan menulis secara mendalam. Mereka bangga menjadi viral, tetapi lupa bahwa kebijaksanaan tidak datang dari sorotan kamera, melainkan dari perenungan dan pembelajaran yang sabar.

Sudah waktunya kita menyadari bahwa media sosial adalah alat, bukan ruang kuliah. Pendidikan formal tetap penting untuk membentuk dasar intelektual dan moral. Kampus harus beradaptasi tanpa kehilangan substansi. Para pendidik harus hadir dalam dunia digital tanpa kehilangan otoritas. Dan yang paling penting, kaum muda harus memilih: apakah mereka ingin menjadi lulusan dari Universitas Media Sosial yang dangkal, atau menjadi pemikir sejati yang tangguh menghadapi dunia nyata? (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :