JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa Selasa (10/5) menggelar aksi unjuk rasa di beberapa tempat seperti di Jayapura, Papua. Aksi serupa juga berlangsung di Papua Barat seperti di Biak. Unjuk rasa tersebut aksi lanjutan yang terjadi sebelumnya dengan tema sentral menolak rencana pemerintah pusat terkait pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Papua dan Papua Barat. Massa demontran meminta pemerintah pusat menghentikan rencana pemekaran beberapa wilayah di Indonesia.
Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Alboin Samosir mengatakan, aksi yang semula berjalan damai direspon represif aparat lalu membubarkan secara paksa, melakukan tindakan pemukulan, pengejaran, penembakan, dan penangkapan tujuh aktivis Papua. Tindakan represif aparat keamanan terkesan berlebihan dalam mengamankan jalannya aksi unjuk rasa.
“Tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan menjadi bukti betapa pemerintah anti terhadap kritik dan menutup pintu demokrasi yang sesunguhnya harus dijunjung tinggi dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, good and clean governance,” ujar Alboin Samosir.
Menurut Samosir, pada dasarnya setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali dijaga dan dilindungi haknya dalam menyampaikan pendapat. Hal ini sejalan Pasa 5 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Mestinya dalam menghadapi aksi massa pihak keamanan dapat bertindak persuasif dan humanis dengan tetap membiarkan pengunjuk rasa menyampaikan pendapatnya di muka hukum dengan menghormati pranata yang ada,” ujarnya.
Samosir meminta perlu ada evaluasi di tubuh institusi keamanan agar lebih memperhatikan hak-hak warga yang berunjuk rasa menyampaikan permasalahan yang sedang mereka alami. Dengan semikian, apa yang mereka suarakan dapat tersampaikan dengan baik dan tidak direspon tindakan represif dari aparat keamanan.
“Aksi sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa Papua menolak rencana pembentukan daerah otonomi baru sudah seharusnya didengar dan diperhatikan pemeritah. Amanat Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 di mana pemekaran wilayah harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang. Hal ini bisa terwujud apabila terjadi musyawarah mufakat antara pemerintah pusat dengan MRP, DPRP, dan tokoh-tokoh Papua,” tegasnya.
Menurut Samosir, rencana pembentukan daerah otonom baru di Papua terkesan sentralistik dan mengabaikan peran Majelis Rakyat Papua dalam memberikan pertimbangan dan masukan urgensi daerah otonomi baru. Hal ini akan merugikan masyarakat Papua mengingat secara sosio-antropologis, masyarakat Papua lebih memahami kebutuhan urgen di daerah.
“Kita tahu saat ini pemerintah melakukan moratorium pemekaran di seluruh Indonesia. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Papua dan Papua Barat. Langkah pemekaran saat ini rawan ditunggangi pihak-pihak tertentu di tengah situasi keuangan negara yang belum sepenuhnya pulih. Karena itu, rencana pemekaran harus dipertimbangkan kembali pemerintah pusat,” kata Samosir. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)