JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang perdana permohonan praperadilan yang diajukan Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe selaku pemohon di PN Jakarta Selatan, Senin (10/4).
Enembe melalui tim kuasa hukumnya mengajukan permohonan praperadilan atas tidak sahnya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan dan penyidikan terhadap dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam sidang tersebut Enembe diwakili kuasa hukumnya dari Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua (THAGP). Sedangkan dari pihak termohon, KPK, tidak hadir.
Hakim tunggal Hendra Utama Sutardodo yang memimpin sidang menyebutkan, KPK sudah mengirim surat ke PN Jakarta Selatan untuk meminta penundaan sidang hingga tiga minggu ke depan.
Mendengar penjelasan hakim, kuasa hukum Enembe, Petrus Bala Pattyona menyatakan keberatan dan meminta penundaan sidang hanya tiga hari saja sejak sidang perdana digelar. Sebagai lembaga besar, KPK tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk melakukan koordinasi, administrasi, dan menyiapkan jawaban dalam menghadapi gugatan praperadilan kliennya.
“Kami meminta sidang ditunda hingga tiga hari ke depan. Namun, dengan pertimbangan hakim setelah melihat waktu libur bersama, hakim memutuskan menunda sidang hingga satu minggu. Jadi sidang akan dimulai kembali pada Senin (17/4) pekan depan,” ujar Pattyona kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (15/4).
Dalam sidangg perdana di PN Jakarta Selatan, Pattyona didampingi anggota tim hukum lainnya seperti Cosmas Refra, SH, MH; Cyprus A Tatali, SH, MH; Antonius Eko Nugroho, SH; Petrus Jaru, SH; Suwahyu Anggara, SH, MH; Davy Helkiah Radjawane, SH; dan Abdul Aziz Saleh, SH, MH.
Pattyona menjelaskan, permohonan praperadilan diajukan karena penetapan Enembe sebagai tersangka dilakukan komisi antirasuah itu tanpa melalui proses penyidikan. Penetapa tersangka juga tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap Enembe sebagai saksi atau calon tersangka.
“Sungguh ironis, suatu rangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk membuat terang tentang adanya suatu tindak pidana, dan dengan itu ditemukan pelakunya, tidaklah dilakukan. Bahkan dilawan oleh KPK yang merupakan bagian dari penegak hukum di Indonesia. Sangat jelas terlihat klien kami lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu dilakukan proses penyidikan dan pengumpulan barang bukti seperti pemeriksaan saksi-saksi dan atau bukti permulaan yang cukup, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP,” lanjut Pattyona.
Selain itu, ujar Pattyona, penetapan Enembe sebagai tersangka harus dinyatakan tidak sah karena tanpa bukti-bukti yang cukup. Apalagi dalam pertimbangan Surat Perintah Penangkapan tanggal 5 September 2022 dinyatakan, Laporan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan LKTPK-36/Lid.02.00/22/09/2022 tanggal 1 September 2022 dan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022 tanggal 5 September 2022.
Karena itu, menjadi pertanyaan dan persoalan serius dan besar yaitu bagaimana mungkin dalam waktu singkat yang hanya tiga hari saja yaitu dari tanggal 1 September 2022 membuat Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi (LKTPK) dalam tingkat penyelidikan. Kemudian pada 5 September 2022 sudah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022?
Pattyona menegaskan, dengan jeda waktu yang hanya tiga hari yaitu dari 1 hingga 5 September 2022, kliennya memohon agar KPK dapat menunjukkan atau memperlihatkan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana yang dilakukan Enembe dengan menunjukkan adanya bukti-bukti berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para saksi yang dilakukan dalam jeda waktu antara tanggal 1 hingga 5 September 2022.
“Dengan adanya uraian tersebut, kami berkesimpulan bahwa penetapan klien kami Pak Lukas Enembe sebagai tersangka tidak sah. Oleh karena itu kami memohon hakim praperadilan harus menyatakan penetapan klien kami sebagai tersangka adalah tidak sah,” kata Pattyona.
Sebagaimana diketahui, Gubernur Papua non aktif Lukas Enembe melalui kuasa hukumnya dari THAGP mengajukan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2023).
Dalam permohonannya, Enembe memohon kepada hakim PN Jakarta Selatan agar memutus bahwa Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/ 81/DIK.00/01/09/2022, tertanggal 5 September 2022, yang menetapkan Enembe sebagai tersangka oleh KPK, terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Enembe juga memohon agar hakim PN Jakarta Selatan memutuskan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka yang dilakukan KPK berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/81/DIK.00/01/09/2022, tertanggal 5 September 2022 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat.
“Klien kami, Pak Lukas Enembe juga memohon kepada hakim agar menyatakan Surat Penahanan Nomor: Sprin.Han/13/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 12 Januari 2023, Surat Perintah Perpanjangan Penahanan Nomor: Sprin.Han/13B.2023/DIK.01.03/01/01/2023 tanggal 20 Januari 2023, dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 76/Tah.Pid.Sus/TPK/III/PN.Jkt.Pst tanggal 2 Maret 2023, yang dilaksanakan KPK, terhadap dirinya adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya penahanan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat dan harus dinyatakan tidak sah,” lanjut Pattyona di Jakarta, Senin (10/4).
Menurut Pattyona, hal terpenting yakni kliennya memohon hakim agar memutuskan untuk memerintahkan KPK mengeluarkan surat perintah penahanan dengan menempatkan Enembe pada rumah atau rumah sakit dan atau penahanan kota dengan segala akibat hukumnya.
“Klien kami Pak Lukas Enembe juga memohon pada hakim untuk menetapkan dan memerintahkan Enembe untuk dikeluarkan dari tahanan,” lanjut Pattyona. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)