BEBERAPA bulan telah berlalu sejak Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Namun alih-alih tampil sebagai pemimpin yang mandiri dan berdaulat, Prabowo justru masih tampak dalam bayang-bayang pendahulunya, Joko Widodo. Intervensi politik Jokowi terhadap pemerintahan yang sekarang berjalan semakin nyata, bahkan tanpa rasa sungkan.
Langkah-langkah politik Jokowi pasca lengser tidak mencerminkan sikap kenegarawanan seorang mantan presiden. Ia masih aktif memainkan pengaruh dalam urusan pemerintahan, baik melalui orang-orang kepercayaannya yang duduk di kabinet maupun lewat posisi putranya sebagai Wakil Presiden. Publik mencatat dengan jelas bagaimana berbagai kebijakan penting dalam beberapa bulan terakhir justru terlihat lebih mencerminkan kepentingan kelompok Jokowi ketimbang visi kepemimpinan Prabowo sendiri.
Tidak sedikit keputusan dan manuver kekuasaan yang secara terang-terangan menggambarkan bahwa Jokowi belum mau turun dari panggung politik. Dari penempatan loyalisnya di jabatan-jabatan strategis hingga intervensi dalam isu-isu nasional, semuanya menunjukkan bahwa Jokowi ingin tetap menjadi aktor utama di balik layar. Bahkan dalam beberapa forum resmi, pernyataan-pernyataan publik Jokowi masih terkesan mendikte arah kebijakan nasional — sesuatu yang seharusnya menjadi otoritas penuh presiden yang sedang menjabat.
Fenomena ini merugikan Prabowo. Ia yang selama ini dikenal sebagai sosok yang tegas, nasionalis, dan independen, kini mulai dicurigai publik sebagai pemimpin yang tidak sepenuhnya berdaulat. Persepsi bahwa Prabowo hanya menjadi “presiden bayangan” atau “boneka politik” Jokowi makin meluas. Jika ini dibiarkan, kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya akan terkikis.
Prabowo harus mengambil langkah tegas. Ia harus menunjukkan bahwa kekuasaan yang kini dipegangnya adalah hasil mandat langsung dari rakyat, bukan hadiah dari pendahulunya. Ia harus meletakkan batas yang jelas antara dirinya sebagai presiden aktif dengan Jokowi sebagai mantan presiden yang seharusnya tahu diri.
Menjadi pemimpin berarti memiliki keberanian untuk mengambil keputusan sendiri dan mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, bukan kepada kekuatan politik masa lalu. Jika Prabowo terus membiarkan intervensi ini terjadi, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pemimpin besar, tetapi sebagai pengikut yang gagal keluar dari bayang-bayang.
Rakyat Indonesia menginginkan kepemimpinan yang tegas dan merdeka. Prabowo harus berani mengakhiri dominasi Jokowi dalam urusan negara. Ia harus membuktikan bahwa kekuasaan ini sungguh miliknya, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa.
Prabowo, lepaskanlah dirimu dari pengaruh Jokowi — demi martabatmu, dan demi Indonesia. (Editor)