PERANG antara Israel dan Iran yang kini memasuki babak berbahaya mengungkap satu kenyataan pahit: Indonesia tidak mampu berbuat banyak. Di tengah krisis global yang kian membesar, posisi Indonesia nyaris tak terdengar. Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini gagal menjadi penengah, apalagi berkontribusi signifikan dalam upaya perdamaian. Banyak pihak, baik pengamat internasional maupun domestik, menilai bahwa posisi Indonesia dalam konflik ini sangat lemah—baik secara diplomatik, politik, maupun strategis.
Pertama, dari segi diplomasi, Indonesia hanya mengandalkan retorika normatif. Pemerintah mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan seruan penghentian kekerasan, tanpa langkah nyata di kancah internasional. Di forum PBB, suara Indonesia tenggelam oleh desakan negara-negara besar. Tak ada inisiatif konkret seperti mengajukan resolusi, membentuk misi perdamaian, atau menggelar diplomasi shuttle ke negara-negara terkait. Indonesia juga tidak menjadi bagian dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang efektif dalam merespons krisis ini.
Kedua, dari segi geopolitik, Indonesia tidak memiliki leverage atau pengaruh langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai. Tidak ada hubungan diplomatik resmi dengan Israel, sementara hubungan dengan Iran pun tergolong biasa saja. Ketiadaan kedekatan strategis itu membuat Indonesia tak punya saluran diplomasi langsung untuk menjadi jembatan dialog atau negosiator.
Ketiga, dari sisi pertahanan dan keamanan, Indonesia memang bukan negara dengan proyeksi kekuatan militer global. Tak seperti Turki, Qatar, atau Arab Saudi yang memiliki pengaruh militer dan logistik di Timur Tengah, Indonesia hanya mampu mengamankan kepentingannya di dalam negeri. Bahkan dalam konteks pengiriman pasukan perdamaian, peran Indonesia lebih bersifat simbolis.
Dari aspek ekonomi dan energi, perang Israel–Iran berdampak langsung pada Indonesia, khususnya terkait fluktuasi harga minyak global. Namun Indonesia tidak mampu mempengaruhi pasar atau mengambil langkah antisipatif strategis. Ketergantungan pada minyak impor dan lemahnya diplomasi energi semakin memperburuk posisi tawar Indonesia.
Fakta bahwa Indonesia bahkan tidak menjadi rujukan media internasional dalam membahas respons global terhadap perang ini mempertegas lemahnya posisi diplomatik kita. Negara-negara seperti Brasil, Turki, atau Afrika Selatan—yang juga berada di luar blok Barat dan Timur—masih memiliki daya tawar. Sementara Indonesia tampak absen dalam arena penting ini.
Ironisnya, Indonesia sering mengklaim diri sebagai negara penyeru perdamaian dunia. Namun saat dunia benar-benar terancam perang besar, suara Indonesia hilang. Lemahnya posisi ini seharusnya menjadi refleksi serius bagi pemerintah dan pemangku kebijakan luar negeri kita. Sebab jika terus seperti ini, Indonesia hanya akan menjadi penonton dari sejarah, bukan pemainnya. (Editor)