POHR Minta Aparat Polresta Sorong Kota Bebaskan Aktivis Negara Republik Federal Papua Barat - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

POHR Minta Aparat Polresta Sorong Kota Bebaskan Aktivis Negara Republik Federal Papua Barat

Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas Ch Syufi. Foto: Istimewa

Loading

SORONG, ODIYAIWUU.com — Empat aktivis Negara Republik Federal Papua Barat (NFRPB), Senin (28/4) ditetapkan Kepolisian Resor Kota Sorong sebagai tersangka karena dianggap mengganggu stabilitas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, langkah penetapan tersangka dinilai hanya asumsi dan tuduhan prematur.

“Penahanan empat aktivis NFRPB setelah ditetapkan sebagai tersangka itu hanya asumsi dan tuduhan prematur. Apa yang disampaikan oleh para aktivis ini merupakan aksi damai, demokratis, dan bermartabat yang patut dihormati dan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi,” ujar Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas Ch Syufi melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (1/5).

Thomas menegaskan, para aktivis itu adalah bagian dari warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum dan pemerintahan negara Indonesia. Mereka berhak menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan kepada siapapun, termasuk pemerintah pusat. 

“Menurut saya para aktivis ini menyampaikan kebebasan berekspresi di muka umum dengan cara damai dan demokratis di hadapan pemerintah daerah sebagai representasi pemerintah pusat. Namun, kalau ditersangkakan dengan pasal makar, tidak relevan dan irasional. Ini merupakan bentuk penganiayaan serius terhadap HAM dan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang merupakan jantung demokrasi,” kata Thomas.

Thomas mengatakan, para aktivis tersebut hanya segelintir orang yang mengaku memiliki sejumlah atribut kenegaraan, baik sebagai polisi atau Tentara Nasional Papua Barat. Menurutnya, para aktivis ini tidak perlu direspon secara berlebihan pihak kepolisian dengan mengambil tindakan represif.  

“Mereka mengaku punya polisi dan tentara, termasuk memiliki sebuah negara Papua Barat adalah sesuatu yang tidak nyata, utopia untuk saat ini. Mereka tidak punya peralatan perang, pesawat tempur, dan pasukan terlatih sehingga bagaimana mungkin mereka mengambil alih atau menguasai seluruh atau separuh wilayah NKRI?,” ujar Thomas retoris.

Thomas menegaskan, apa yang disuarakan para aktivis NFRPB adalah surat suara damai, bukan peluru berdarah yang harus takuti. Perihal kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum, lanjutnya, sudah dijamin dalam Pasal 28E Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum. 

Termasuk Pasal 25 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian,  Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 10 Desember 1948 dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. 

“Atas alasan filosofis dan normatif tersebut, saya berharap Kepolisian Resor Kota Sorong segera membebaskan empat aktivis NRFPB yang tengah ditersangkakan, yaitu  Abraham Goram Gaman dan kawan-kawan karena mereka tidak bersalah. Jangan menggunakan cara-cara represif untuk membungkam dan memasung setiap warga negara yang menyatakan pendapat secara damai yang merupakan bagian dari HAM paling inheren,” katanya tegas. 

Menurut Thomas, seharusnya usaha-usaha aktivis di tanah Papua, termasuk para delegasi NRFPB untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan humanis dengan pemerintah pusat melalui dialog perlu didukung semua pihak, termasuk Poresta Kota Sorong. 

Langkah progresif para aktivis tersebut, ujar Thomas, perlu diapresiasi dan bukan malah dikriminalisasi. Mereka menyatakan pendapat secara damai dan bertanggungjawab tanpa melakukan aksi kriminal atau skandal korupsi seperti kebanyakan pejabat di tanah Papua. 

Para pejabat di tanah Papua, lanjut Thomas, malah menggarong dana otsus yang digelontorkan pemerintah pusat di tanah Papua sejak tahun 2002 hingga saat ini yang diperkirakan mencapai Rp 1000 triliun tanpa membawa dampak signifikan bagi perbaikan hidup masyarakat, kecuali kesejahteraan bagi pejabat dan keluarganya.

“Korupsi makin marak di tanah Papua, tetapi hukum tidak tegak bagi para koruptor. Hukum hanya menyasar para aktivis yang terpanggil dengan ketulusan hati dan jiwa memperjuangkan tegaknya keadilan dan perdamaian di tanah Papua. Maka, untuk mengakhiri konflik Papua hanya melalui dialog dan penegakan keadilan. 

Artinya, lanjut Thomas, bukan pendekatan represif, penambahan anggaran, pemekaran daerah otonomi baru serta pasukan dan peralatan tempur.  Pihaknya pesimistis, konflik Papua bakal tidak terselesaikan bila Pemerintah Indonesia melalui aparat kepolisian masih konsisten melancarkan berbagai tindakan represif terhadap aktivis pro-demokrasi dan HAM di tanah Papua. 

“Aparat keamanan dengan sengaja menghalau ikhtiar perdamaian di tanah Papua dengan menggulung semangat kebebasan berekspresi dengan pendekatan represif dan kekerasan, intimidasi, teror hingga pemenjaraan. Sekali lagi, saya meminta Kapolri dan Kapolda Papua Barat segera memberikan atensi dan supervisi khusus atas kasus ini. Para aktivis itu segera dibebaskan dari tahanan karena mengemukakan pendapat di muka umum di kota Sorong,” katanya.

Menurut Thomas, langkah penangkapan aktivis kemanusiaan dan perdamaian tidak dibenarkan dalam negara hukum yang demokratis. Langkah itu adalah praktik yang sering terjadi di negara-negara berpaham tirani dan menganut sistem totalitarianisme yang yang mengabaikan prinsip fundamental HAM khususnya kebebasan individu.

Thomas menegaskan, aparat kepolisian tak perlu membuat wajah demokrasi negara makin suram, pekat, dan tercoreng karena salah dalam penanganan ekspresi menyampaikan pendapat oleh warga negara semacam ini. Padahal, Indonesia adalah negara yang mengklaim diri negara demokratis, tetapi implementasinya sangat miris dibandingkan negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara yang jauh lebih maju demokrasinya dibanding Indonesia. 

Thomas mengatakan, berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2023, Timor Leste (7,06 poin), Filipina (6,66 poin), dan Malaysia (7,29 poin)) memiliki skor indeks pertumbuhan demokrasi yang lebih baik dibandingkan negara-negara Asean lainnya, termasuk Indonesia yang hanya mendapat skor 6,53 poin. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :