Budaya Personalisasi Jabatan Politik di Indonesia - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Budaya Personalisasi Jabatan Politik di Indonesia

Budaya Personalisasi Jabatan Politik di Indonesia. Gambar Ilustrasi: Dok. Odiyaiwuu

Loading

SALAH satu masalah yang terus mengakar dalam politik Indonesia adalah budaya personalisasi jabatan. Fenomena ini terjadi ketika jabatan politik tidak dipahami sebagai mandat kelembagaan yang bersifat publik, melainkan dianggap sebagai milik pribadi atau keluarga. Jabatan politik diperlakukan layaknya harta warisan, yang harus dijaga dalam lingkaran sempit orang-orang tertentu. Gejala ini sangat terlihat dalam praktik politik lokal maupun nasional.

Budaya ini berakar dari sistem sosial-politik feodal yang masih bercokol dalam cara pandang sebagian elite dan masyarakat. Dalam sistem feodal, kekuasaan terpusat pada sosok pemimpin yang dianggap sebagai pemilik otoritas, bukan sebagai pelayan rakyat. Warisan budaya ini terbawa ke dalam sistem demokrasi modern Indonesia, menjadikan jabatan publik lebih dipersonalisasi daripada diinstitusionalkan. Akibatnya, proses politik menjadi sangat bergantung pada individu, bukan pada sistem.

Kita menyaksikan banyak kepala daerah yang, setelah tidak dapat mencalonkan diri lagi, mendorong pasangan, anak, atau kerabatnya untuk maju menggantikan mereka. Demikian pula dalam tubuh partai politik, posisi ketua umum atau pengurus inti acap kali diwariskan dalam pola dinasti. Bukan karena regenerasi berjalan alami, melainkan karena kekuasaan dipertahankan dalam lingkaran loyalitas. Hal ini menciptakan hambatan serius bagi lahirnya pemimpin baru yang memiliki kompetensi, integritas, dan keberpihakan kepada rakyat.

Personalisasi jabatan juga melemahkan institusi. Banyak program pemerintahan tidak berkelanjutan karena terlalu lekat dengan figur tertentu. Ketika pemimpin berganti, program pun ikut berhenti karena tidak melekat pada lembaga, melainkan pada pribadi. Hal ini menjadikan kebijakan publik rentan berubah arah hanya karena pergantian tokoh. Akibatnya, pembangunan sering kali terputus-putus dan tidak berorientasi jangka panjang.

Partai politik seharusnya menjadi wadah pendidikan kader dan penjaga sistem demokrasi, tetapi kenyataannya banyak partai justru melanggengkan budaya personalisasi jabatan. Politik gagasan tergeser oleh politik figur. Loyalitas kepada individu lebih dihargai daripada loyalitas kepada nilai, ideologi, atau aturan main.

Untuk mengakhiri budaya ini, dibutuhkan perubahan pola pikir dari elite dan masyarakat. Jabatan publik harus dikembalikan pada fungsinya sebagai alat pengabdian kepada rakyat. Pendidikan politik perlu menekankan pentingnya sistem dan kelembagaan, bukan ketokohan semata. Media juga harus berperan aktif mengedukasi publik agar tidak terjebak dalam kultus individu.

Demokrasi yang sehat membutuhkan institusi yang kuat, bukan hanya tokoh yang menonjol. Budaya personalisasi jabatan politik harus dikoreksi demi masa depan politik Indonesia yang lebih adil, terbuka, dan rasional. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :