WAMENA, ODIYAIWUU.com — Pihak The National Committee for West Papua atau Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sektor Winam, Wilayah Mamberamo Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, Selasa (10/12) turut memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia (World Human Rights Day) tahun 2024.
Dalam momentum peringatan tersebut, KNPB Sektor Winam mengusung tema nasional Tak Ada Perjuangan Sejati Tanpa Pengorbanan, Mati Atau Tanah Air, pihak KNPB sektor itu menyebut, selama 63 tahun orang Papua menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.
“Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang HAM tidak berlaku di tanah Papua. Selama 63 tahun orang Papua menjadi korban pelanggaran HAM di tangan Indonesia. Ini terhitung sejak Soekarno mengumandangkan Trikora pada 19 Desember 1961 hingga saat ini,” ujar Ketua KNPB Sektor Winam Walma Gombo melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Wamena, Jayawijaya, Papua Pegunungan, Selasa (10/12).
Dalam momentum peringatan World Human Rights Day pada 10 Desember, KNPB Sektor Winam Wilayah Mamberamo Tengah menuntut Pemerintah Indonesia bertanggung jawab penuh atas pelanggaran HAM terhadap orang Papua selama 63 tahun.
“Kami menilai Pemerintah Indonesia tidak mampu menjamin hak-hak dasar orang Papua dalam kekuasaan dan kedaulatan yang cacat di tanah Papua. Kami meminta menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di seluruh wilayah tanah Papua,” kata Walma Gombo.
Menurutnya, sebagai solusi demokratis, pihak KNPB menegaskan kembali kepada Pemerintah Indonesia agar segera mencari jalan keluar, solusi bagi bangsa Papua yang damai dan bermartabat.
Perserikatan Bangsa Bangsa mendeklarasikan Hari HAM 74 tahun lalu, tepat 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui Resolusi General Assembly Resolution 217 A (III). Setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945 atau dua tahun kemudian Pemerintah Indonesia ikut menandatangani deklarasi tersebut.
“Tiga belas tahun kemudian, Soekarno mengumumkan operasi militer Trikora pada 1961. Operasi militer pertama ini merintis jalan pelanggaran HAM di tanah Papua atas nama kepentingan politik ideologis. Banyak orang Papua menjadi korban pelanggaran HAM atas nama operasi militer,” ujar Walma Gombo.
Ribuan orang Papua, lanjutnya, menjadi korban dalam operasi militer yang dicanangkan lebih awal untuk memuluskan dan memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Jutaan orang Papua lainnya mengungsi ke Papua Nugini, Australia, Belanda dan lainnya. Hingga saat ini sebagian besar tinggal di negara-negara tersebut.
“Segala bentuk kebijakan politik Jakarta di Papua selalu identik dengan pelanggaran HAM. Kebijakan Otonomi Khusus Papua dan pemekaran daerah otonom baru yang dianggap etis tetapi penuh pelanggaran HAM. Banyak orang menjadi korban pelanggaran HAM akibat kebijakan pemerintah yang bias kekerasan dan kejahatan kemanusiaan,” katanya,
Di balik Otsus Papua dan daerah otonom baru orang Papua senantiasa mengalami teror dan intimidasi. Pembatasan ruang demokrasi terjadi di mana-mana. Pada saat yang sama, perampasan tanah adat untuk pembangunan infrastruktur, pertambangan, minyak dan gas, perkebunan sawit dan tebu melalui Program Strategis Nasional (PSN) terjadi di seluruh tanah Papua.
Wilayah pemekaran baru sekarang menjadi sarang kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Konflik bersenjata hari ini sedang berlangsung di sejumlah daerah otonom baru. Di antaranya Nduga, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan lainnya.
“Konflik ini mengakibatkan 79.867 warga sipil mengungsi ke hutan dan daerah lain. Jumlah ini tidak termasuk dengan masyarakat sipil di kampung Atenar, Alutbakon dan Mimin, Distrik Oksop, Pegunungan Bintang yang berlangsung sejak November hingga Desember ini. Sebanyak 300 orang aparat keamanan Indonesia menyisir habis masyarakakat di kampung-kampung tersebut,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)