SALATIGA, ODIYAIWUU.com — Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Republik Indonesia menggelar webinar kolaboratif bertajuk Hak Politik Orang Asli Papua Pileg 2024 Aman Kah? yang melibatkan sejumlah pakar dan politisi, Sabtu (16/3).
Webinar melibatkan berbagai elemen mahasiswa asal tanah Papua seluruh Indonesia, baik yang tengah studi di kota-kota di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan tanah Papua. Misalnya, Hipmapa Salatiga, Hipmapas Semarang, Kompass sewilayah Sumatera, Immapa Bali. Imapa wilayah Jabodetabek, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Universitas Cenderawasih Jayapura.
Diskusi menyikapi berbagai aspirasi masyarakat Papua tentang hak politik masyarakat asli bumi Cenderawasih pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 yang dipandang tidak menguntungkan orang asli Papua.
Sejumlah narasumber tampil dalam webinar tersebut seperti tokoh Papua yang juga Penasehat Senior Kantor Staf Presiden Republik Indonesia dan Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan Manuel Kaisiepo, SIP, MH; praktisi hukum Frederika Korain, SH, MAAPD; dan dosen sekaligus peneliti Papua Center LPPSP Fisip Universitas Indonesia Dr I Ngurah Suryawan, M.Si.
Selain itu, tampil juga ahli demografi politik pertama Indonesia Dr Riwanto Tirto Sudarmo; Ketua Kelompok Khusus (Poksus) Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua John NR Gobay; dan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika, Papua Tengah Otis Tabuni, SH, MH.
Manuel saat tampil dalam webinar tersebut mengatakan, penyelenggaraan Pemilu di Papua buruk karena tidak terpisahkan dari design politik dan tata negara di Indonesia yang berubah sejak reformasi. Desain politik dimaksud dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.
“Indonesia menganut sistem demokrasi liberal, sehingga menjadi individual right. Di sini tentu memungkinkan terjadi politik transaksional yang kemudian menghasikan the winner take its all,” ujar Manuel.
Menurutnya, dalam demokrasi liberal dengan sistem proporsional terbuka hanya mereka yang punya duit yang menang. Sistem politik elektoral untuk menaikkan elektalibilitas dan popularitas sangat tergantung berapa uang yang dimiliki. Berbeda dengan politik representatif. Hal ini, lanjut Manuel, yang jadi persoalan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Frederika mengungkapkan fakta riil bahwa hak politik caleg perempuan Papua jauh lebih buruk dari laki-laki. Caleg perempuan selama ini sekader memenuhi syarat 30 persen. Hak tersebut menunjukkan perempuan Papua sekadar bunga-bunga politik.
“Perempuan yang tidak punya modal dan kuasa mudah sekali dijadikan objek. Saya tidak pernah melihat satupun tokoh atau elit di Papua mendorong perempuan mendapatkan hak-hak politiknya. Secara umum Pemilu di Papua sebagian elit berubah jadi monster dan mengacaukan Papua menjadi semakin buruk,” kata Frederika.
Ngurah Suryawan saat memaparkan dampak pemekaran terhadap hak politik orang asli Papua mengatakan, pemekaran merupakan bagian dari desain Jakarta memperluas ruang-ruang politik bagi orang asli Papua agar mudah dikontrol dari Jakarta.
“Pemekaran di tanah Papua sebenarnya jebakan sistematis dari negara agar orang Papua sibuk dengan tawaran kekuasaan dan uang dari Jakarta lalu melupakan segala persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat akar rumput. Persoalan itu seperti kedaulatan diri, kemandirian diri, kebebesan berekspresi, dan pemenuhan hak-hak dasar seperti akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas,” kata Ngurah.
Dalam kesempatan tersebut, Riwanto menyampaikan pandangan tentang dampak perkembangan demografi terhadap hak-hak politik orang asli Papua. Menurutnya, perubahan demografi di Papua tak lepas dari politik. Demografi dan politik berpengaruh satu sama lain, timbal balik.
“Akibat dari itu muncul istilah OAP dan non-OAP atau nusantara. Di negara ini hanya orang Papua yang melawan Indonesia karena berbagai problematika pembangunan yang belum diselesaikan sejak Papua bergabung dengan Indonesia tahun 1960-an hingga saat ini,” kata Riwanto.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar negara harus serius melihat persoalan sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Papua saat ini. Resistensi politik yang di Papua merupakan bentuk ekspresi masyarakat untuk menjaga harga diri dan menjunjung martabat kemanusiaan.
Sedangkan John Gobay mengatakan, situasi ekonomi menentukan kekuasaan dalam politik. Masyarakat yang lemas secara ekonomi rawan dimanipulasi. Kondisi itu yang menimpah orang asli Papua saat ini.
“Rata-rata para caleg kurang modal sehingga suaranya mudah dimanipulasi dan perjual-belikan. Payung hukum untuk memproteksi hak politik masih lemah sehingga perlu ada sinkronisasi Undang-Undang Otonomi Khusus dengan Undang-Undang terkait partai politik, Pemilu, dan beberapa regulasi terkait,” ujar John.
Karena itu, politisi muda ini mengajak semua elemen Papua kompak menciptakan bargaining politik agar dengan Jakarta. Selain itu, menurutnya sistem noken dalam politik saat ini membuat orang Papua masih ada muka. Jika tidak ada sistem noken, hak-hak politik menjadi rebutan masyarakat non Papua .
Menurut Tabuni, tidak ada regulasi yang secara tegas memproteksi hak politik orang asli Papua sehingga caleg non-OAP yang memiliki modal finansial, ekonomi, dan kekuasaan menyerobot semua kursi legislatif di semua tingkatan.
“Pemilu 2024 sesungguhnya menguji Undang-Undang Otsus jilid II yang baru disahkan 2021 ternyata membuktikan bahwa orang asli Papua masih hidup dalam kepalsuan,” kata Tabuni, tokoh muda tanah Papua.
Di sesi akhir webinar para narasumber dan penanggap yang merupakan ketua-ketua mahasiswa Papua dari berbagai kota di Indonesia merekomendasikan agar harus ada upaya sistematis dari semua tokoh Papua, baik Bupati, Gubernur, MRP, DPRD, DPRP, DPD dan DPR RI mendorong sinkronisasi UU Otsus, UU Parpol, UU Pemilu dan Petaturan Komisi Pemilihan Umum.
Saatnya, orang asli Papua harus bersatu menggolkan bargaining politik dengan Jakarta. Diskusi dipandu moderator Melkior NN Sitokdana, putra asli Papua sekaligus Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)