Pejabat Tanpa Malu, Demokrasi Tanpa Harga Diri - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Pejabat Tanpa Malu, Demokrasi Tanpa Harga Diri

Pejabat Tanpa Malu, Demokrasi Tanpa Harga Diri. Gambar Ilustrasi: Dok. Odiyaiwuu

Loading

DI NEGARA Indonesia ini, kursi kekuasaan terlalu sering diduduki oleh mereka yang kehilangan rasa malu. Ketika penyalahgunaan wewenang terbongkar, publik tidak disuguhi permintaan maaf atau refleksi moral, melainkan pertunjukan pembenaran, manipulasi narasi, hingga sikap arogan yang menertawakan akal sehat rakyat. Yang salah tetap duduk nyaman di singgasana, sementara rakyat hanya bisa mengelus dada, menyaksikan bagaimana kesalahan dimaklumi dan kekuasaan diselamatkan.

Fenomena ini bukan kasus satu dua orang. Ini sudah menjadi budaya politik yang mengakar—budaya tanpa rasa malu. Padahal, di negara-negara Asia Timur seperti Jepang atau Korea Selatan, seorang pejabat yang tertangkap berbohong, korupsi, atau gagal melaksanakan tugas publik, secara sadar mengundurkan diri. Bahkan tidak sedikit yang secara publik menyampaikan permintaan maaf, sebagai bentuk tanggung jawab moral. Di Indonesia? Pejabat justru cenderung ngotot bertahan, sibuk membela diri, dan merasa seolah tidak bersalah.

Lebih menyedihkan lagi, perilaku ini seakan diamini oleh sistem. Tak sedikit partai politik yang tetap membela kadernya meskipun jelas bersalah, atau lembaga negara yang tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menegakkan akuntabilitas dan etika publik. Hukum sering tumpul ke atas, dan media pun kadang larut dalam permainan citra, bukan lagi pengawal nurani publik. Akibatnya, rakyat kehilangan panutan dan kepercayaan terhadap elite negara yang seharusnya menjadi teladan.

Ketika pejabat kehilangan rasa malu, maka negara kehilangan arah moral. Malu adalah fondasi dari tanggung jawab. Tanpa rasa malu, kekuasaan berubah menjadi panggung pembenaran tanpa introspeksi. Korupsi dianggap biasa, penyalahgunaan jabatan disamarkan sebagai strategi politik, dan kegagalan dipoles sebagai keberhasilan. Lebih buruk lagi, pejabat yang bersalah justru merasa menjadi korban atau pahlawan yang disalahpahami.

Sayangnya, publik pun mulai terbiasa dengan kondisi ini. Ketika pejabat bersalah tetap dipuja, ketika loyalitas lebih diutamakan daripada integritas, dan ketika keberhasilan ditakar dari pencitraan semata, maka yang rusak bukan hanya sistem kekuasaan, tapi juga kesadaran kolektif bangsa. Pendidikan politik harus ditegakkan mulai dari ruang-ruang keluarga, sekolah, hingga media. Rasa malu harus ditanamkan sejak dini sebagai nilai dasar dalam berbangsa.

Sudah saatnya bangsa ini menuntut standar moral yang lebih tinggi dari para pemimpinnya. Rakyat tidak butuh pejabat yang sempurna, tapi pejabat yang tahu diri ketika bersalah, dan memiliki keberanian untuk mengakui serta menebus kesalahannya. Di situlah letak kehormatan sejati seorang pemimpin. (Editor)

Tinggalkan Komentar Anda :