SELAMA lebih dari tujuh dekade, konflik Israel–Palestina telah menjadi luka terbuka dalam sejarah modern umat manusia. Upaya demi upaya untuk mencapai solusi dua negara hampir selalu menemui jalan buntu, baik karena ketegangan politik, sengketa wilayah, hingga pertarungan ideologis yang belum berujung. Dalam situasi pelik ini, sudah waktunya dunia mempertimbangkan opsi baru yang realistis dan memungkinkan: pemberian status Otonomi Khusus bagi wilayah Palestina dalam kerangka negara Israel.
Gagasan ini bukan tanpa preseden. Dalam sejarah kontemporer, sejumlah wilayah yang sebelumnya memperjuangkan kemerdekaan justru mendapatkan status otonomi khusus sebagai jalan tengah antara tuntutan separatis dan keutuhan negara. Misalnya, Hong Kong diberikan status Special Administrative Region (SAR) oleh Republik Rakyat Tiongkok. Di Indonesia, Aceh dan Papua memperoleh status otonomi khusus untuk menjawab ketegangan historis dan aspirasi kedaerahan tanpa memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Italia, wilayah Trentino–Alto Adige dan Aosta Valley juga mendapat status otonomi luas untuk melindungi hak-hak etnis minoritas dan menjaga harmoni nasional.
Pemberian Otonomi Khusus kepada Palestina dapat dirancang sebagai model perdamaian baru. Dalam kerangka ini, Palestina akan tetap berada di bawah kedaulatan Israel, namun diberikan keleluasaan untuk mengatur urusan domestiknya sendiri, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, hingga pengelolaan sumber daya lokal. Pemerintahan otonom Palestina akan memiliki parlemen dan sistem hukum tersendiri, sementara isu-isu strategis seperti pertahanan dan hubungan luar negeri tetap dikelola oleh negara induk, yaitu Israel.
Tentu saja, implementasi gagasan ini membutuhkan konsensus, jaminan keamanan, serta pengakuan terhadap eksistensi dan martabat rakyat Palestina. Otonomi bukanlah subordinasi, melainkan bentuk pengakuan politik atas hak untuk mengatur diri sendiri dalam kerangka kebangsaan yang lebih luas. Dengan jaminan internasional dan pemantauan bersama, status ini dapat menjadi solusi pragmatis yang mencegah kekerasan, memperkuat koeksistensi, dan membuka jalan bagi kerjasama antar komunitas.
Lebih jauh, status Otonomi Khusus akan membuka peluang rekonsiliasi antara dua bangsa yang selama ini hidup dalam ketegangan. Palestina tetap mendapatkan ruang identitas dan pemerintahan sendiri, sementara Israel tidak kehilangan kedaulatannya atas wilayah yang disengketakan. Dunia internasional pun dapat berperan aktif mendorong dan menjamin kesepakatan ini dengan mekanisme pengawasan multilateralis.
Sudah terlalu lama darah tertumpah di Tanah Suci. Kini saatnya mencari jalan tengah yang tidak hanya adil, tetapi juga memungkinkan untuk dijalankan. Otonomi Khusus untuk Palestina bukan solusi akhir, tetapi bisa menjadi pintu masuk menuju masa depan yang damai dan berdampingan bagi dua bangsa yang saling membutuhkan. (Editor)