DI TENGAH berbagai tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia, satu fakta menyedihkan kerap terulang: kekerasan masih saja dilakukan atas nama Tuhan, nabi, atau kitab suci. Dari pembunuhan massal, penindasan terhadap kelompok minoritas, hingga terorisme yang membabi buta—semuanya kerap dibungkus dengan dalih keagamaan.
Saatnya umat manusia berhenti membenarkan kekerasan dengan alasan agama. Bahkan lebih dari itu, sudah waktunya kita meninggalkan agama atau tafsir keagamaan yang mengajarkan, mempraktikkan, dan membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun. Agama seharusnya menjadi sumber kedamaian, cinta kasih, dan penghormatan terhadap kehidupan. Namun sejarah panjang umat manusia membuktikan bahwa agama juga bisa menjadi alat kekuasaan dan kekerasan yang menindas.
Ketika ayat-ayat suci dijadikan dalih untuk membunuh, menyiksa, atau memperbudak sesama manusia, maka yang kita saksikan bukan lagi spiritualitas, melainkan fanatisme yang membutakan nurani. Tak sedikit ajaran atau tafsir agama yang menyebarkan kebencian terhadap mereka yang berbeda keyakinan, menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan, atau menyuruh membunuh demi menegakkan “kebenaran”.
Umat manusia telah sampai pada titik peradaban yang membutuhkan keberanian untuk berkata tegas: kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun, termasuk agama. Ajaran yang memerintahkan kekerasan harus dikritik secara terbuka. Kitab yang menuliskan pembantaian atas nama Tuhan harus dibaca ulang secara kritis. Dan agama yang tidak mampu berdamai dengan sesama manusia harus ditinggalkan, agar generasi masa depan tidak lagi mewarisi kebencian yang disucikan.
Tidak semua agama atau pemeluk agama bersikap keras dan intoleran. Banyak pemuka dan penganut agama yang justru memperjuangkan perdamaian, kesetaraan, dan keadilan. Namun mereka harus berani membersihkan rumah mereka sendiri dari warisan-warisan kekerasan yang selama ini dibiarkan hidup dalam teks, ritus, dan ceramah. Menjadi religius tidak harus berarti menjadi buta terhadap luka yang ditinggalkan agama di masa lalu maupun masa kini.
Dunia yang damai dan manusiawi hanya mungkin tercipta jika kita memuliakan hidup dan menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. Jika ada agama yang tidak bisa meninggalkan kekerasan, maka umat manusia tidak perlu terus memeluknya. Tuhan yang sejati tidak pernah menyuruh manusia membunuh sesamanya. Nabi yang sejati tidak pernah mengajarkan penindasan. Kitab yang sejati tidak pernah memuliakan perang.
Kini saatnya kita menolak kekerasan yang dibungkus kesucian. Dan jika itu berarti meninggalkan ajaran atau agama tertentu demi kemanusiaan, maka itulah pilihan moral yang paling benar. (Editor)