JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Papua Barat Dr Filep Wamafma, SH, M.Hum menolak gagasan Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti yang mengajukan gagasan untuk kembali ke naskah asli UUD 1945 terkait eksistensi sistem bikameral. Hal tersebut beralasan mengingat sistem tersebut merupakan bagian dari amanat reformasi.
Menurut Filep, salah satu tujuan perjuangan reformasi ialah menghilangkan sentralisasi kekuasaan pada satu lembaga dan menegasikan lembaga lain. Sentralisasi kekuasaan tersebut semata, menghindari kekuasaan yang cenderung korup, power tends to corrupt.
Untuk mencegah pemutlakan kekuasaan, perlu mekanisme saling mengawasi, termasuk dalam legislatif. Ini juga supaya UU yang dihasilkan di kamar DPR tidak menjadi sewenang-wenang,” ujar Filep Wamafma kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Sabtu (21/1).
Filep, senator muda dan doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Hasanuddin Makassar, menegaskan, sebagai ketua semestinya yang diperjuangkan ialah penguatan fungsi bikameral, bukan melemahkannya. Penguatannya ialah melalui upaya afirmasi terhadap kewenangan DPD di bidang legislatif.
“Kita ambil contoh di Prancis. Posisi senat dan national assembly sebagai lembaga bikameral sama kuat dan sejajar. Senat dan national assembly sama-sama memiliki kewenangan menyampaikan mosi tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah,” tegas Filep.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Manokwari, Papua Barat ini menambahkan, bila tidak ada sistem bikameral tidak akan dikenal perwakilan dari daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
“Jika bikameral itu tidak ada, provinsi-provinsi DOB seperti Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, tidak akan diwakili hak-hak kedaerahannya,” tandas Filep.
Menurut Filep, sebagai Ketua DPD RI, diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk berpikir ke depan, bukan kembali pada masa Orba dengan kekuasaan yang sentralistik. Bikameral bukan penyimpangan karena amandemen konstitusi pun bukan hal yang tabu tetapi diperbolehkan secara hukum,” tandas Filep.
Menurut mantan Anggota Pansus Papua ini, apabila anggota MPR diisi oleh anggota DPR yang dipilih, utusan daerah yang diidealkan berasal dari raja-raja nusantara dan utusan golongan diisi dari para profesional dari organisasi-organisasi, dikhawatirkan akan melahirkan transaksi politik.
“Bayangkan saja jika utusan daerah berasal dari raja-raja nusantara, dan utusan golongan dari kaum profesional. Bukankah justru akan melahirkan politik transaksional yang besar disana? Akan ada kepentingan-kepentingan tertentu disana, dan hak-hak konstitusional masyarakat di luar para raja dan para profesional dikhawatirkan justru akan dikebiri dan sangat tidak demokratis,” ujar Filep retoris.
“Terus terang saya cukup heran dengan pandangan Pak LaNyalla. Bagaimanapun, DPD RI lahir dari rahim reformasi. Potret perubahan konstitusi yang melahirkan DPD bertujuan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI,” katanya.
Ia menambahkan, DPD hadir untuk meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan berbagai kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah sekaligus mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Filep juga menekankan, para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah yang berbasis ideologi atau parpol ataupun keturunan tertentu. Wakil daerah adalah figur-figur yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.
Ia menambahkan, jangankan DPD RI, persoalan otonomi daerah, termasuk otonomi khusus juga merupakan hasil amandemen dari Pasal 18 Konstitusi. Dulu pasal ini lebih menekankan streek and locale rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka.
“Dengan amandemen Pasal 18, beberapa prinsip baru dapat diterapkan dan diakui, yaitu prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya dan bukan sekadar administratif, prinsip kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya,” kata Filep.
Menurutnya, dengan prinsip itu pula, masyarakat adat Papua misalnya bisa meminta hak atas dana bagi hasil sumber daya alam, hak atas tanah adat, hak atas pemberdayaan masyarakat adat dan lainnya.
“Mari berpikir ke depan. Jangan sampai DPD yang sudah berdiri dengan seluruh sistem lainnya dikembalikan ke masa lalu. Kecuali kalau memang ada kepentingan besar di balik itu. Kalau itu ada, jelas harus dilawan,” kata Filep lebih lanjut. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)