DI INDONESIA, sentimen anti-Yahudi cukup tinggi, terutama dalam kaitannya dengan konflik Israel-Palestina. Banyak kelompok masyarakat secara terbuka menyuarakan penolakan terhadap apa pun yang berbau Yahudi, baik dari sisi agama, budaya, maupun politik. Namun yang ironis, sebagian besar dari mereka justru menjadi pengguna aktif dari berbagai karya yang diciptakan atau dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Yahudi. Ini bukan sekadar kontradiksi, tetapi cerminan dari kebingungan dan kebodohan intelektual yang mengakar di tengah masyarakat.
Fakta sehari-hari menunjukkan betapa dominannya karya-karya Yahudi dalam kehidupan modern. Aplikasi seperti Google, YouTube, Facebook, Instagram, WhatsApp, hingga PayPal digunakan jutaan orang Indonesia setiap hari. Padahal, sebagian besar dari teknologi ini dikembangkan oleh perusahaan atau individu Yahudi. Tokoh seperti Albert Einstein, Sigmund Freud, dan Mark Zuckerberg hanyalah sebagian kecil dari daftar panjang nama-nama Yahudi yang karyanya mengubah peradaban.
Tidak berhenti di bidang teknologi, kontribusi Yahudi juga sangat besar dalam ekonomi, kedokteran, sistem keuangan global, pendidikan, dan budaya populer. Dunia modern berjalan di atas fondasi pemikiran, sistem, dan inovasi yang lahir dari kerja keras para pemikir dan profesional Yahudi. Namun, di tengah ketergantungan ini, masih saja ada kelompok yang meneriakkan kebencian, menyerukan boikot, bahkan menyebarkan stigma yang keliru tanpa memahami siapa yang sebenarnya sedang mereka manfaatkan.
Lebih parah lagi, kebanyakan dari mereka gagal membedakan antara Yahudi sebagai identitas etnis dan agama, dengan zionisme sebagai ideologi politik. Tidak semua Yahudi adalah zionis, dan tidak semua zionis adalah Yahudi. Namun, dalam banyak wacana publik di Indonesia, semua itu dicampuradukkan dan dijadikan alasan untuk menjustifikasi kebencian kolektif. Ini merupakan tanda rendahnya literasi geopolitik dan historis, serta kegagalan berpikir kritis yang serius.
Jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat, maka cara berpikir seperti ini harus segera ditinggalkan. Dunia tidak bergerak berdasarkan kebencian dan prasangka, tetapi oleh pengetahuan, kolaborasi, dan kecerdasan. Menolak suatu kelompok secara membabi buta sambil menikmati hasil karyanya tanpa sadar adalah bentuk kebodohan publik yang memalukan.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia berhenti menjadi korban propaganda emosional tanpa akal. Yang dibutuhkan bukanlah fanatisme kosong, tetapi keberanian untuk berpikir adil, jujur, dan rasional. Karena hanya dengan kesadaran dan pengetahuan, bangsa ini bisa lepas dari jerat kontradiksi dan membangun masa depan yang lebih cerdas dan bermartabat. (Editor)