Koalisi Masyarakat Sipil dan Perempuan Adat di Papua Minta Tinjau Ijin PT Permata Nusa Mandiri di Grime dan Nawa - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
DAERAH  

Koalisi Masyarakat Sipil dan Perempuan Adat di Papua Minta Tinjau Ijin PT Permata Nusa Mandiri di Grime dan Nawa

Jalan baru di lokasi hutan wilayah Kampung Beneik, Distrik Unurum Guay yang baru saja dibuka pada Januari 2022 oleh PT PT Permata Nusa Mandiri. Foto: Dok. Koalisi

Loading

JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Sejumlah koalisi masyarakat sipil dan perempuan adat di Papua meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua untuk segera meninjau kembali semua keputusan yang telah diambil dan diberikan kepada pihak perusahaan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) dan perusahaan manapun yang beroperasi di daerah Grime dan Nawa, Kabupaten Jayapura.

Selain itu, perusahaan-perusahaan lain di wilayah Mamta maupun yang beroperasi di atas tanah Papua agar dicabut izinnya. Hal itu perlu diambil mengingat perusahaan-perusahaan yang masuk dan beroperasi di atas tanah masyarakat adat dinilai tidak membawa keuntungan bagi warga bahkan mengubah sedikit ekonomi mereka.

Pernyataan sikap tersebut dituangkan Ketua Organisasi Perempuan Adat Namblong Rosita Tekcuari dan perwakilan warga korban terhadap keberadaan PT PNM yang didukung dan ditandatangani 100 perwakilan masyarakat adat Namblong dari lembah Grime dan Nawa, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, pada 7 Maret 2022.

PT PNM merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Nimbokrang. Perusahaan ini tercatat mengantongi sejumlah izin seperti izin lingkungan pada Februari 2014, izin usaha perkebunan pada Maret 2014, pelepasan kawasan hutan bulan Agustus 2014, dan hak guna usaha (HGU) untuk beberapa bagian konsesi mereka pada Agustus dan November 2018.

“Izin-izin tersebut terbit tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Izin-izin tersebut terbit begitu saja, bahkan masyarakat mengetahui keberadaan izin-izin ini setelah perusahaan mulai melakukan kegiatan di lapangan,” ujar Septer Manufandu dari Sekretaris Eksekutif Jerat Papua melalui keterangan tertulis kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Selasa (8/3).

Awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan sejumlah izin, termasuk izin kebun sawit. Pengumuman ini kemudian diikuti dengan beredarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 1 tahun 2022 yang memuat nama PT PNM sebagai salah satu perusahaan yang menerima pencabutan izin pelepasan kawasan hutan.

Bagi masyarakat adat yang telah lama khawatir akan keberadaan PT PNM, pengumuman ini tentu memberi harapan besar. Apalagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut pelepasan kawasan hutan untuk perusahaan tersebut. Namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Merujuk laporan Mongabay, hampir dua tahun tidak ada aktivitas di kamp perusahaan. Beberapa hari setelah pengumuman oleh Presiden Jokowi, terpantau di lapangan aktivitas pembukaan lahan oleh perusahaan.

Analisis citra satelit yang dilakukan Greenpeace dari awal Januari hingga 12 Februari 2022, terpantau 70 hekar hutan sudah gundul di lokasi yang teridentifikasi sebagai konsesi PT PNM. Aktivitas ini mendapat penolakan dari masyarakat adat.

Penolakan Rosita Tekcuari terhadap PT PNM, salah satu perusahaan yang terafiliasi dengan taipan Anthoni Salim sudah berlangsung sejak awal mengetahui kehadiran perusahaan itu. Pada 2018, Bupati Jayapura sebenarnya telah menetapkan Bukit Isyo Rhempang Muaif sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Yawadatum. Lokasi ini mencakup hutan yang masuk dalam konsesi PT PNM.

“Kehadiran perusahaan ini akan mengakibatkan kehilangan mata pencaharian, kehilangan tempat tinggal, dan kehilangan satwa yang biasa hidup bersama mereka seperti cendrawasih,” kata Direktur Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante.

Hutan tempat perusahaan tersebut akan beroperasi merupakan hutan tersisa yang menjadi ruang hidup masyarakat adat dari lembah Grime dan Nawa, termasuk milik Rosita. Terhadap aktivitas penebangan kayu yang dilakukan perusahaan sejak Januari 2022 tersebut patut diduga dilakukan secara ilegal.

“Setelah dicek di laman resmi KLHK, tidak ada pelaporan pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) oleh PT PNM sejak 2019 sampai 7 Maret 2022,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Nico Wamafma.

Menurut Nico Wamafma, PSDH dan DR tersebut merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor kehutanan, dan wajib dibayarkan oleh setiap perusahaan yang melakukan aktivitas penebangan kayu.

Wakil Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Sosial dan Keberlanjutan Lingkungan di Tanah Papua Franky Samperante meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitasnya dan meminta pemerintah untuk mencabut semua rangkaian izin yang dimiliki perusahaan.

“Perusahaan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, mengancam hutan dan satwa yang ada di lembah Grime dan Nawa,” kata Franky.

Upaya pencabutan ini mestinya bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Jayapura. Apalagi, proses evaluasi izin sudah dijalankan sejak adanya Kebijakan Moratorium Kebun Sawit pada 2018.

“Terhadap aktivitas pembukaan hutan sejak Januari 2022, harus diikuti dengan kegiatan penegakan hukum,” ujar Nico. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :