KUMURKEK, ODIYAIWUU.com — Yohanis Mambrasar, SH, kuasa hukum Abraham Fatemte, warga Maybrat korban salah tangkap mendesak Kejaksaan Negeri Sorong membebaskan kliennya demi tegaknya keadilan hukum bagi rakyat Papua secara umum. Langkah membebaskan Abraham, warga masyarakat kecil juga demi menjaga marwah peradilan dan kredibilitas kejaksaan.
“Selaku kuasa hukum, kami juga mendesak Kejaksaan Negeri Sorong segera menghentikan proses hukum perkara Abraham Fatemte dan membebaskan klien kami agar segera kembali kepada keluarganya. Kami juga meminta Kejaksaan Negeri Sorong merehabilitasi nama baik klien kami,” ujar Mambrasar kepada Odiyaiwuu.com dari Kumurkek, kota Kabupaten Maybrat, Papua Barat, Rabu (13/7).
Abraham Fatemte (24), warga sipil Maybrat adalah korban salah tangkap Kepolisian Sorong Selatan dalam upaya penegakan hukum insiden penyerangan Pos Koramil Kisor, Maybrat pada 3 September 2021. Insiden tersebut mengakibatkan empat anggota TNI meninggal. Pada Rabu (13/7), Kepolisian Sorong Selatan melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Negeri Sorong. Sebelumnya, kepolisian telah menahan Fatemte selama 110 hari di Rumah Rahanan Polres Sorong Selatan di Teminabuan.
Kejaksaan Negeri Sorong kemudian melanjutkan menahan Abraham Fatemte tahap pertama untuk durasi waktu 20 hari. Kejaksaan menahannya dengan tuduhan melakukan sejumlah kejahatan. Pertama, Fatemte melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan perencanaan pembunuhan, yang diatur dalam Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsider melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan Pembunuhan, yang diatur dalam Pasal 338 Jo 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Kedua, mengunakan kekerasan terhadap orang atau barang yang mengakibat maut 170 ayat (20) ke 3 KUHP. Ketiga, melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian 353 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Menurut Mambrasar, kliennya bukan merupakan pelaku penyeragan Pos Koramil, Kisor, Maybrat yang terjadi pada 2 September 2021. Kliennya juga tidak terlibat dalam bentuk apapun seperti merencanakan kejahatan dimaksud atau turut membantu terlaksananya peristiwa penyerangan dimaksud, sebagaimana dituduhkan.
“Saat Peristiwa dimaksud terjadi, Abraham Fatemte tidak berada di lokasi peristiwa. Dia juga tidak berada di Kisor, Kabupaten Maybrat atau bahkan di Papua Barat. Saat peristiwa dimaksud terjadi, ia sedang berada di Kota Tual, Maluku sejak April 2021 dan baru kembali ke Kabupaten Sorong Desember 2021,” kata Mambrasar.
Bahkan, menurut Mambrasar, Fatemte telah pergi meninggalkan Kampung Kisor dan Maybrat enam bulan sebelum peristiwa dimaksud terjadi. Fatemte baru kemabali ke Kabupaten Sorong tiga bulan setelah peristiwa dimasud. Abraham Fatemte ke Kota Tual bersama istrinya untuk mendampingi istrinya bersalin (melahirkan). Selama di kota Tual Fatemte tidak pernah melakukan perjalanan ke luar kota dimaksud sebelum ia pulang Ke Sorong pada Desember 2021.
“Pelaku penyerangan peristiwa dimaksud adalah kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) wilayah Sorong di bawah pimpinan Arnold Kocu. Fakta ini telah dibenarkan oleh Arnold Kocu dan pasukannya. Mereka telah menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa dimaksud,” kata Mambrasar.
Lebih lanjut, menurut Mambrasar, TPNPB telah menyatakan bahwa Abraham Fatemte dan warga sipil lainnya yang ditangkap oleh kepolisian Sorong Selatan tidak terlibat dalam bentuk apapun pada peristiwa dimaksud. Pernyataan Arnol Kocu ini telah disampaikan secara terbuka kepada publik pada 21 September 2021 melalui rekaman vidio yang dipublikasi di sosial media.
“Fakta ini menunjukkan bahwa Abraham Fatemte bukanlah merupaka pelaku dalam peristiwa dimaksud. Fatemte merupakan korban salah tangkap kepolisian dalam penegakan hukum peristiwa dimaksud,” katanya menegaskan.
Menurut Mambrasar, proses hukum terhadap Abraham Fatemte dari kepolisian hingga pelimpahan ke kejaksaan adalah proses hukum yang tidak sah. Proses hukum yang dilakukan tersebut tidak sesusai prosesdur hukum yang benar. Proses hukum ini dilakukan tidak berdasarkan dasar bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam KUHAP Pasal 14 HUHP Jo Keputusan Mahkama Konstitusi No 21/PUU-XII/2012 tentang frase bukti permulaan yang cukup.
Atas dasar fakta-fakta hukum peristiwa dan ketentuan hukum sebagaimana diuraikan di atas, kata Mambrasar, jelas menunjukkan bahwa Abraham Fatemte tidak bersalah, oleh sebabnya sudah sepatutnya kejaksaan tidak menerima dan melanjutkan perkara ini. Sebaliknya tindakan melanjutkan proses hukum perkara ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
“Jika Kejaksaan Negari Sorong tetap menerima dan melanjutkan perkara klien kami, hal itu menunjukkan Kejaksaan Negeri Sorong turut membangkang hukum. Hal itu sekaligus menunjukkan kejaksaan sebagai alat kekuasaan negara turut mencipatakan ketidakadilan bagi rakyat Papua. Itu artinya Kejaksaan Negeri Sorong turut sebagai alat penindas rakyat Papua,” tegas Mambrasar. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)