PERPINDAHAN penduduk dari luar Papua ke Tanah Papua telah berlangsung sejak era Orde Baru, terutama melalui program transmigrasi yang digulirkan secara masif. Kini, migrasi tersebut berlangsung lebih liar dan tanpa kendali negara yang memadai. Jika tidak diatur, arus perpindahan penduduk ke Papua akan menjadi bom waktu yang meledak dalam bentuk konflik sosial, disintegrasi budaya, dan marginalisasi rakyat asli Papua di tanah leluhur mereka sendiri.
Data menunjukkan bahwa di beberapa kota besar Papua seperti Jayapura, Merauke, Nabire, dan Mimika, jumlah penduduk pendatang kini mendominasi populasi, bahkan mencapai lebih dari 60 persen di beberapa wilayah. Ini bukan sekadar angka, tetapi tanda pergeseran demografis yang sangat drastis. Dalam proyeksi jangka panjang, Orang Asli Papua (OAP) bahkan terancam menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.
Masalah utama dari imigrasi tak terkendali ini bukan semata karena jumlah, tetapi dampak sistemik yang ditimbulkannya. Dalam aspek ekonomi, pendatang yang umumnya lebih siap secara modal dan keterampilan dengan mudah menguasai pasar, lapangan kerja, dan proyek pembangunan. Sementara OAP, yang masih tertinggal secara struktural, tersingkir secara perlahan. Kesenjangan ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan frustrasi sosial.
Dari aspek politik, dominasi pendatang dalam jumlah juga berdampak pada representasi politik. Dalam pemilihan umum, suara OAP bisa terkalahkan oleh pendatang, sehingga kepemimpinan daerah pun tidak lagi merepresentasikan aspirasi dan kepentingan rakyat asli. Ketimpangan ini rentan menimbulkan ketegangan politik yang bisa menjalar menjadi konflik etnis.
Budaya dan identitas lokal pun semakin terdesak. Bahasa daerah, nilai-nilai adat, dan praktik sosial khas Papua perlahan-lahan tergantikan oleh budaya luar. Ini bukan sekadar perubahan, melainkan pemusnahan perlahan terhadap jati diri suatu bangsa. Tanpa perlindungan dan afirmasi negara, warisan budaya Papua akan lenyap dalam arus mayoritas baru yang tidak memiliki keterikatan historis dan emosional dengan tanah itu.
Pemerintah pusat dan daerah perlu segera mengambil langkah konkret. Pertama, dengan membuat kebijakan migrasi internal yang adil dan terukur, termasuk pembatasan jumlah pendatang di wilayah-wilayah tertentu. Kedua, memperkuat program pemberdayaan OAP dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan politik agar mereka mampu bersaing di negerinya sendiri. Ketiga, memastikan perlindungan terhadap hak tanah, budaya, dan representasi politik OAP sebagai bentuk keadilan konstitusional.
Imigrasi memang merupakan hak warga negara, namun hak tersebut harus diatur agar tidak menindas hak komunitas asli yang lebih dulu mendiami suatu wilayah. Jika negara terus membiarkan arus imigrasi ke Papua tanpa kebijakan pengendalian dan proteksi, maka konflik dan ketidakadilan hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Kini saatnya bertindak. Sebelum bom waktu itu benar-benar meledak dan menghancurkan masa depan Tanah Papua. (Editor)