DUNIA telah kehilangan seorang pemimpin spiritual yang bukan hanya milik umat Katolik, tetapi milik seluruh umat manusia: Paus Fransiskus. Wafatnya beliau bukan sekadar peristiwa duka, tetapi juga momentum refleksi mendalam bagi dunia yang dilanda krisis moral, sosial, ekologis, dan spiritual. Dunia perlu belajar dari pemikiran, keteladanan, dan karya beliau—seorang gembala yang rendah hati, progresif, dan penuh kasih.
Paus Fransiskus mengajarkan bahwa kekuasaan sejati bukan terletak pada dominasi, melainkan pada pelayanan. Ia memimpin Gereja dengan gaya yang bersahaja, menolak kemewahan, memilih tinggal di rumah tamu Vatikan daripada istana apostolik, dan kerap menyapa umat secara langsung tanpa protokol berlebihan. Keteladanan hidupnya menjadi kritik tajam terhadap budaya elitis dan egoisme yang makin merajalela di berbagai belahan dunia.
Dalam hal pemikiran, Paus Fransiskus mewariskan khazanah pemahaman iman yang berpihak pada yang lemah, tertindas, dan terpinggirkan. Ia menekankan pentingnya “Gereja yang keluar,” yakni Gereja yang hadir di tengah penderitaan umat, bukan hanya di altar dan tembok gereja. Ia mengajak semua orang beriman untuk membangun dunia yang lebih adil, ramah lingkungan, dan penuh belas kasih.
Dokumen-dokumennya seperti Evangelii Gaudium, Laudato Si’, dan Fratelli Tutti adalah tonggak pemikiran profetik yang melampaui sekat agama dan bangsa. Laudato Si’ khususnya menjadi seruan global untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama yang kini terancam oleh kerakusan manusia. Ia tidak ragu menegur para pemimpin dunia, korporasi besar, dan masyarakat internasional yang mengabaikan krisis iklim, kesenjangan sosial, dan pengungsi perang.
Lebih dari sekadar seorang pemimpin agama, Paus Fransiskus adalah simbol moral global. Dunia yang haus akan pemimpin berhati nurani seyogianya meneladani integritas dan kebijaksanaannya. Ia tidak berpolitik praktis, tetapi pesannya menembus jantung politik dunia—mendorong dialog, perdamaian, dan rekonsiliasi di tengah polarisasi ekstrem dan konflik yang tak kunjung reda.
Kini, ketika suara lembutnya telah terdiam, tugas kita adalah melanjutkan nyala semangatnya. Dunia tidak boleh sekadar mengenang Paus Fransiskus sebagai tokoh besar dalam sejarah Gereja, melainkan menjadikan warisan ajarannya sebagai panduan dalam membangun masa depan yang lebih manusiawi dan berbelas kasih.
Dunia, belajarlah dari Paus Fransiskus—karena di dalam dirinya, kasih, keadilan, dan harapan menemukan suaranya yang paling jernih. (Editor)