KEKOSONGAN Tahta Suci Vatikan pasca wafatnya Paus Fransiskus membuka kembali lembaran harapan dan permenungan global tentang masa depan kepemimpinan Gereja Katolik. Setelah lebih dari dua milenium dan lebih dari 260 paus yang pernah memimpin Gereja, hampir seluruhnya berasal dari Eropa, dengan segelintir dari Amerika. Kini, dalam era yang semakin majemuk dan saling terhubung, sudah saatnya suara dari belahan dunia lain didengar dan diakui: saatnya orang Afrika atau Asia menjadi Paus.
Gereja Katolik bukan hanya milik Eropa, melainkan umat beriman sedunia. Faktanya, jumlah umat Katolik di Amerika Latin, Afrika, dan Asia telah melampaui umat Katolik di Eropa. Afrika dan Asia bahkan menjadi wilayah dengan pertumbuhan umat Katolik tercepat dalam beberapa dekade terakhir. Namun, representasi dalam kepemimpinan tertinggi Gereja belum mencerminkan kenyataan ini. Padahal, sudah seharusnya kepemimpinan Gereja mencerminkan keberagaman umatnya.
Pemilihan seorang Paus dari Afrika atau Asia bukan sekadar simbol atau formalitas multikultural. Ini adalah pengakuan atas dinamika iman yang hidup dan berkembang di tanah-tanah yang dulu hanya dikenal sebagai “misi”. Ini juga merupakan bentuk penghormatan terhadap konteks sosial, budaya, dan spiritual yang unik di kedua benua, yang sering kali menjadi ladang subur bagi pewartaan kasih, perdamaian, dan keadilan. Pemimpin Gereja yang berasal dari Afrika atau Asia akan lebih memahami realitas sosial di mana banyak umat Katolik hidup dalam kemiskinan, ketidakadilan, dan kekerasan. Mereka akan membawa semangat perubahan yang berasal dari pengalaman konkret.
Afrika telah melahirkan pemimpin-pemimpin Gereja yang tangguh, bijaksana, dan berpengaruh. Kardinal seperti Peter Turkson dari Ghana atau Wilfrid Napier dari Afrika Selatan dikenal luas atas pemikiran mereka tentang keadilan sosial dan perdamaian. Demikian pula, Asia memiliki tokoh-tokoh besar seperti Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, yang rendah hati dan dekat dengan kaum miskin, serta Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar, yang lantang membela hak asasi manusia dan dialog antaragama. Mereka adalah contoh nyata pemimpin Gereja yang tak hanya peduli dengan umat, tetapi juga dengan dunia sosial dan politik di sekitar mereka.
Dengan memilih Paus dari Afrika atau Asia, Gereja tidak hanya membuka diri terhadap keberagaman, tetapi juga mempertegas bahwa pusat iman tidak bersifat geografis, melainkan spiritual. Paus dari dunia Selatan akan membawa perspektif baru dalam menyikapi tantangan global: perubahan iklim, konflik antaragama, ketimpangan ekonomi, dan krisis migrasi—isu-isu yang sangat relevan di Afrika dan Asia. Keterlibatan orang Afrika atau Asia dalam kepemimpinan Gereja juga dapat memperkuat pesan bahwa solidaritas internasional tidak hanya muncul dari negara-negara kaya, tetapi juga dari negara-negara yang penuh dengan tantangan dan penderitaan.
Warisan Paus Fransiskus, yang dikenal karena keberpihakan pada kaum terpinggirkan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup, bisa diteruskan dan diperkaya oleh seorang Paus yang berasal dari konteks serupa. Seseorang yang memahami penderitaan rakyatnya bukan dari buku atau laporan, tetapi dari kehidupan nyata di tengah masyarakat yang terpinggirkan. Seorang Paus dari dunia Selatan bisa memberikan suara yang lebih kuat bagi mereka yang sering kali diabaikan oleh dunia internasional.
Kini, semua mata tertuju pada Konklaf yang akan segera berlangsung. Para Kardinal yang akan memilih Paus baru diundang untuk mendengarkan bisikan Roh Kudus, yang tiada mengenal batas bangsa, ras, atau benua. Gereja Katolik akan menjadi semakin universal—bukan hanya dalam ajaran, tetapi juga dalam wajah dan kepemimpinan—jika ia berani mengambil langkah profetik ini.
Sudah saatnya. Afrika dan Asia siap memimpin. Dunia pun menanti. (Editor)