TANAH Papua kembali berduka. Di berbagai kabupaten, nyawa demi nyawa melayang sia-sia bukan karena perang, bukan karena bencana alam, tetapi karena satu musuh yang tak terlihat namun mematikan: minuman keras. Miras telah menjadi biang keladi dari begitu banyak tragedi: kematian muda, kecelakaan, kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Ini adalah darurat sosial yang tidak boleh lagi diabaikan.
Ironisnya, di tengah tingginya korban akibat miras, peredarannya justru semakin masif. Botol-botol minuman beralkohol beredar bebas di kampung-kampung, terminal, kios-kios, bahkan acara adat dan pesta gereja. Tidak sedikit toko yang secara terang-terangan menjual miras, bahkan kepada anak-anak muda di bawah umur. Dan yang lebih mengkhawatirkan, jumlah Orang Asli Papua (OAP) yang mengonsumsi miras terus meningkat, seolah sudah menjadi bagian dari budaya pergaulan modern.
Kondisi ini menunjukkan dua persoalan besar yang harus disorot secara kritis. Pertama, ketiadaan ketegasan dari pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum dalam menertibkan peredaran dan konsumsi miras. Pemerintah seolah kehilangan kendali atau bahkan kompromi dengan pelaku usaha yang mencari untung dari penderitaan orang lain. Larangan hanya berlaku di atas kertas, tetapi di lapangan, peredaran miras berlangsung bebas tanpa hambatan.
Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda OAP, terhadap bahaya miras. Banyak yang menganggap minum adalah gaya hidup atau simbol kebebasan. Padahal, dampaknya sangat nyata: rusaknya kesehatan, hilangnya masa depan, dan retaknya ikatan sosial. Tak sedikit keluarga yang hancur karena kepala keluarga menjadi pecandu miras, tak sedikit anak-anak kehilangan arah karena tumbuh dalam lingkungan yang rusak oleh alkohol.
Dalam situasi yang semakin gawat ini, diperlukan dua langkah serius dan terstruktur. Pertama, pemerintah daerah harus mengeluarkan dan menegakkan peraturan daerah yang secara tegas melarang peredaran miras di seluruh Tanah Papua. Tak boleh ada ruang kompromi bagi siapa pun yang ingin memperkaya diri dengan menjual racun ini kepada masyarakat. Larangan ini harus dibarengi dengan razia berkala, sanksi hukum yang jelas, serta pelibatan tokoh adat dan agama untuk memperkuat implementasinya.
Kedua, perlu gerakan kesadaran kolektif di kalangan OAP untuk mengatakan “tidak” pada miras. Ini bukan semata masalah hukum, tetapi masalah harga diri dan masa depan bangsa Papua. Pendidikan, kampanye publik, dan peran keluarga serta gereja sangat penting dalam membangun mentalitas baru yang menolak alkohol sebagai gaya hidup.
Miras adalah pembunuh sunyi di Tanah Papua. Jika pemerintah terus membiarkannya, dan masyarakat tetap membudayakannya, maka kita sedang menyaksikan pembunuhan massal yang berlangsung perlahan tapi pasti. Saatnya bertindak—sebelum semuanya terlambat. (Editor)