KETEGANGAN geopolitik di Timur Tengah mencapai titik genting. Pada 22 Juni 2025, Amerika Serikat secara terbuka melancarkan serangan udara ke tiga fasilitas utama pengayaan uranium di Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Pemerintah AS menyebut tindakan ini sebagai upaya pre-emptive untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, menyusul meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran dalam beberapa pekan terakhir.
Presiden Donald Trump menyatakan bahwa serangan ini adalah bentuk perlindungan terhadap stabilitas global dan sekutu-sekutunya di kawasan. Ia menggambarkannya sebagai “tindakan militer spektakuler” yang ditujukan untuk mencegah potensi ancaman nuklir dari Teheran. Namun, serangan itu bukan hanya menciptakan dampak militer, tetapi juga gelombang kekhawatiran di tingkat global. Banyak pihak mulai bertanya: akankah serangan ini menjadi titik awal dari konflik yang lebih luas, bahkan kemungkinan terjadinya Perang Dunia Ketiga?
Iran bereaksi keras. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengutuk serangan itu sebagai bentuk agresi terbuka dan menyatakan bahwa Iran tidak akan diam. Ia berjanji akan melakukan pembalasan yang setimpal, dengan menyebut bahwa “semua opsi kini terbuka”. Reaksi keras ini menandai bahwa konflik mungkin tidak akan berhenti pada satu kali serangan. Sementara itu, pasukan milisi yang didukung Iran seperti Hizbullah dan kelompok bersenjata di Irak dan Suriah mulai menyatakan kesiapan mereka untuk turut membalas.
Reaksi internasional pun tak kalah keras. Rusia dan Tiongkok mengecam keras tindakan Amerika Serikat, menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional dan potensi ancaman terhadap perdamaian dunia. Sekretaris Jenderal PBB mengeluarkan pernyataan bahwa tindakan semacam ini dapat mengakibatkan eskalasi konflik yang berbahaya dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri. Negara-negara Eropa, sementara itu, menunjukkan sikap lebih hati-hati, dengan mendorong dialog diplomatik sebagai jalan keluar dari krisis.
Ancaman terjadinya Perang Dunia Ketiga bukanlah retorika kosong. Jika Iran membalas dengan menyerang pangkalan militer AS di Timur Tengah, atau jika konflik ini meluas ke Teluk Persia dan mengganggu jalur minyak global, maka eskalasi bisa dengan cepat menjalar ke negara-negara besar yang saling beraliansi. Di tengah konflik ini, isu energi global dan potensi keterlibatan kekuatan besar seperti Rusia atau Tiongkok akan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Dalam kondisi seperti ini, tanggung jawab untuk meredam krisis berada di tangan semua aktor internasional. Amerika Serikat dan Iran memiliki kekuatan untuk melanjutkan konfrontasi, tetapi mereka juga memiliki kesempatan untuk memilih jalur dialog. Komunitas internasional, termasuk PBB dan negara-negara netral, harus memainkan peran aktif untuk mendorong deeskalasi.
Sejarah mencatat bahwa perang besar selalu dimulai dari ledakan kecil yang diabaikan. Maka dunia patut waspada. Langkah yang diambil hari ini akan menentukan apakah kita bergerak menuju perdamaian atau kembali ke lingkaran gelap peperangan global. Menghindari perang bukan kelemahan, tetapi keberanian untuk menyelamatkan masa depan umat manusia. (Editor)